Muhammad Hasan Basri

Laki-laki, 21 tahun

Lumajang, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Windows 8 SM Zero
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Jumat, 03 Oktober 2014

Hakikat dan Makna Wukuf di Arafah

Hari itu jutaan jamaah haji berkumpul di Arafah untuk melaksanakan salah satu rukun haji yaitu wukuf di arafah. Bersamaan dengan itu.seluruh umat islam di dunia disunnahkan untuk melakukan puasa arafah yang jatuh pada tanggal 9 dzulhijjah . Mudah-mudahan seluruh jamaah haji diberikan kekuatan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji ini termasuk wukuf di arafah.
Sebenarnya apa sih makna wukuf di arafah? Boleh dikata wukuf di arafah merupakan miniatur padang mahsyar dimana seluruh umat manusia akan dibangkitkan dari kematian dan berkumpul di suatu tempat yang disebut padang mahsyar. Manusia harus mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan dihadapan Allah swt. Padang mahsyar diperkirakan panasnya luar biasahanya manusia yang banyak amal ibadahnya saja .yang mampu merasakan kesejukan di tengah panasnya padang mahsyar. Selebihnya akan merasakan panasnya terik matahari yang hanya sejengkal tingginya .dengan rasa panas yang luar biasa. Ini karena selama hidup di dunia banyak manusia yang melakukan dosa dan perbuatan buruk lainnya.
Wukuf di arafah seolah mengingatkan kita semua akan hari kebangkitan itu. Sudah selayaknyalah manusia mempersiapkan hari pembalasan itu. Dimana setiap manusia akan dihisap secara adil oleh Tuhan yang Maha Adil. Tidak ada sedikitpun kesalahan dalam hisap nanti. Keadilan betul-betul ditegakkan. Disanahukum tidak bisa dibeli oleh siapapun ataupun mafia lainnya. Barangsiapa berbuat kejahatan walaupun seberat atommaka dia akan mendapatkan balasannya. Begitu pula bila berbuat baik walaupun hanya sebesar atommaka diapun akan mendapat balasan.
Sojangan pernah bersedih ketika kita sudah berbuat baik di dunia initernyata tidak dihargai oleh orang lain.karena Allah Maha Melihat dan Maha Adil. Besok di akhirat akan dibalas dengan pahala yang setimpalasal perbuatan baik itu bener-benar dilakukan dengan ikhlash..hanya mengharap ridho Allah swt.
Maka..di Arafahlahjamaah haji digembleng dengan panasnya terik.dan perjuangan yang cukup melelahkan. Asal mau bersabar dan selalu bertawakalInsya Allah akan menjadi pribadi yang luhur dan hajinya akan mabrur.
Pentingnya Wukuf di Arafah
Sebagaimana Sabda Nabi, Al-hajju Arafah, maksudnya adalah inti dan puncak haji adalah melaksanakan wukuf di Arafah. Arafah berarti mengenal, mengetahui, dan menyadari. Sedangkan makna wukuf adalah berdiam diri.
Dengan demikian, makna wukuf di Arafah adalah berdiam diri untuk meditasi dan menengadah guna merenungkan eksistensi diri dihadapan Allah SWT dan dihadapan makhluk alam semesta kemudian melakukan transformasi ruhaniah secara besar-besaran.
Allah memerintahkan kita untuk berhenti sejenak dari pengaruh dunia yang sudah menjalar hingga kepori dan tulang sum-sum kita agar kita mengenal diri memahami apakah diri kita ini sudah pantas dikatakan manusia jika diri kita hanya sibuk mengejar kehidupan dunia yang fana ini, Allah menganjurkan kita agar menyadari apa sebanarnya tujuan hidup kita yang sebenarnya, bukankah diri kita ini pasti akan mati dan menghadap Allah, lalu sudahkah kita, mengenal siapa tuhan kita sebenarnya, apakah benar Allah atau banyak tuhan tuhan yang lain yang lebih kita cintai dan kita sayangi dibandingan Allah, seperti harta, uang, istri anak ataukah jabatan kita miliki yang menjelma menjadi tuhan kita sekarang, sudahkah kita sadari berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk berbuat maksiat. Dan berapa banyak pula waktu yang kita gunakan untuk berbuat kebaikan demi kebaikan.
Haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif, cinta harta, nafsu birahi, amarah, dan berkata keji atau perkataan kotor. Dalam berhaji, manusia dilarang mengenakan perhiasan atau parfum. Bahkan sebaliknya (sangat) dianjurkan untuk rela berkorban apa saja yang menjadi miliknya termasuk yang paling dicintainya, sebagaimana Nabi Ibrahim as yang rela mengorbankan Ismail, putra yang amat dicintainya (lihat QS 37: 99-113).
SIAPA pun orangnya, tentu bangga (bahagia) bila dapat memenuhi panggilan Tuhan menjalani rukun Islam kelima, haji. Betapa tidak, selain ibadah ini merupakan warisan Nabi Ibrahim dan idaman setiap umat Islam, ia juga bisa meningkatkan status sosial. Biaya yang diperlukan jelas cukup besar, hingga tidak semua orang sanggup menjalaninya. Belum lagi syarat lain yang tidak mudah untuk dipenuhi. Singkatnya, hanya orang-orang terpilih lah yang dapat melaksanakan ibadah ini.
Sebaliknya, di balik kebanggaan mereka yang berhaji, ada semacam penyesalan pada mereka yang tak dapat menunaikannya. Susah berbaur prihatin karena merasa belum sempurna Islamnya. Kemudian timbul rasa iri pada mereka yang diberi rezeki berlimpah. Bahkan ada yang sampai menyalahkan pada pembuat nasib walaupun ada pula yang lapang dada menerimanya.
Kedua keadaan/peristiwa tersebut, secara sufism-experience, sama-sama tidak benar. Keduanya sama-sama mengandung butiran tidak ikhlas. Tercemar oleh virus bangga susah kecewa nelangsa. Akibatnya menjadi tidak diterima semua amal baik di sisi-Nya.
Yang benar adalah, tidak bangga ketika mampu menunaikannya dan tidak susah, kecewa, nelangsa ketika tidak sanggup menjalankannya. Sama-sama ikhlasnya. Bersih, kosong. Hati nurani bebas dari kabut debu yang mencemari tugas utamanya, yakni dzikrullah. Menjalani kehidupan dengan ikhlas menerima pemberian-Nya.
Lebih dari itu, kedua masalah tersebut menjadi sirna/nafi dengan sendirinya bila dapat menangkap dan memahami roh-nya haji. Tentu saja harus dibarengi dengan usaha keras membumikannya dalam keseharian.
Membumikan rohnya haji
Rohnya haji adalah al-hajju arofatu. Berhentinya segala aktivitas di Padang Arafah. Secara syariat, ibadah ini dilakukan di Padang Arafah (Kabah dan sekitarnya). Dilengkapi dengan syarat rukunnya, larangannya, maupun ibadah plus lainnya.
Secara hakikat, makna wukuf adalah berhenti di Padang Arafah. Adalah berhentinya semua aktivitas berdunia (termasuk berhentinya napasnya sendiri), menyatakan Arafah-Nya Yang Mahaluas. Pertama, Membuktikan marifat (bertemu) Dzat Yang Mahaluas.
Adalah sebuah usaha (ibadah) untuk menghentikan berbagai pengakuan keduniawian dan geloranya hawa nafsu. Menghentikan segala macam pengakuan: status sosial, golongan, pangkat, jabatan, pekerjaan, gengsi, harga diri, anak-istri, dan sejenisnya. Tenggelam dalam menikmati indahnya wujud (Dzat) Tuhan Yang Mahaluas. Istilah tasawufnya, marifat. Bertemu Tuhan.
Oleh karena sangat-sangat lembut serta melangit target yang hendak diraih, maka harus dibarengi dengan menjalankan ketentuan lainnya. Di antaranya: pertama, Ihram. Yaitu berniat melaksanakan haji dengan memakai pakaian yang suci tanpa jahitan (polos, utuh).
Tanpa jahitan merupakan simbol sama rasa. Sebuah usaha untuk mengakui tiada perbedaan antarsesama hamba. Apakah pangkat, derajat, harta, warna darah, trah (keturunan) dan sebagainya. Adalah hakikat rasa jiwa yang merdeka sejati. Bebas dari berbagai macam jahitan/kekangan. Baik yang datang dari luar diri (segala sistem buatan manusia dan setan) maupun yang dari dalam diri (hawa nafsu).
Kedua, wukuf di Arafah, berhenti di Padang Arafah yang sangat luas, yaitu berhentinya nafsu pengakuan dan berbagai aktivitas berdunia, di sisi Dzat Yang Mahaluas. Sebab, yang namanya nafsu itu kalaulah tidak dihentikan, pasti akan merajai, memperbudak, menjajah, memerkosa, atau menguasai jati diri manusianya (rasa). Oleh karenanya, nafsu ini harus diupayakan untuk dihentikan. Dalam rangka menyatakan marifat kepada-Nya.
Ketiga, thawaf, mengelilingi Kabah (Baitullah, rumah Tuhan). Kabah ini terdiri dari empat pojok (sudut). Merupakan lambang alam-alam yang harus dilalui manusia, yaitu alam arwah, alam kandungan, alam dunia, dan alam kubur.
Pojok pertama, merupakan simbol alam arwah. Di pojok ini terdapat Hajar Aswad, yaitu simbol asal mula fitrah jati diri manusia yang warnanya hitam (asli). Fitrah manusia ini asalnya dari Fitrah Allah. Ketika masih di alam arwah ini, fitrah manusia gandeng dengan Fitrah-Nya. Haqqul-yakin melihat/menyaksikan Wujud (Dzat) Tuhan. Oleh karenanya berani berkata, qaalu balaa syahidna (benar wahai Tuhan, bahwa Engkau adalah Tuhanku), ketika dimintai persaksian oleh-Nya.
Pojok kedua adalah simbol alam kandungan. Pada pojok ini mengingatkan kita ketika masih berada di alam kandungan. Pada saat itu, ketika jasad masih berumur 120 hari ditiupkan roh (daya dan kekuatan) Tuhan. Bersamaan itu ditetapkan pula rezeki, umur, pati, amal, serta nasib baik dan nasib buruk. Pojok ini mengingatkan betapa sebenarnya manusia waktu itu yang apes, hina, tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa. Adanya hanya pasrah, bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Kemudian setelah diberi daya dan kekuatan Tuhan (ditiupkan roh-Nya), barulah kemudian bisa tumbuh berpikir, bernapas, bekerja, dan seterusnya. Begitu pula ketika diberadakan pada alam dunia sekarang ini diharapkan bangkit kesadarannya untuk mengenal dan mengetahui dengan haqqul yakin keberadaan Dzat Sang Pencipta yang dulunya (maupun sekarang) merupakan tempat bergantung-berlindung-pasrah bongkokan. Kemudian dijadikan satu-satunya wujud yang dicintai, dijadikan tujuan hidup, diingat-ingat serta didekati hingga bertemu kembali (marifat).
Pojok ketiga adalah alam dunia. Alam yang sekarang dilalui (berada) adalah materi (bahan) ujian yang harus diselesaikan agar bisa kembali pada Sang Pencipta. Cara menyelesaikan ujiannya yaitu dengan mengikuti jejak para Malaikatul-muqorrobin, yaitu rela patuh dan tunduk kepada wakil Tuhan (rasul) yang ada di bumi. Patuh dan tunduknya bagai mayit yang pasrah bongkokan di hadapan yang memandikan (menyucikan). Tidak memprotes sama sekali. Yang ada hanya samina wa athona.
Pojok keempat adalah alam kubur. Adalah tempat menuai hasil setelah selesai menjalani ujian dunia. Bila menjalani dunianya dengan sungguh-sungguh, mengikuti petunjuk rasul-Nya, jihadunnafsi-nya dengan keras, serta mendapat rahmat dan fadhal Tuhan, matinya bisa selamat. Wajahnya berseri-seri karena kepada Tuhan-Nya melihat (bertemu). Bangkit suka citanya merasakan betapa indah dan bahagianya kembali pada-Nya.
Tetapi sebaliknya, bila ketika menjalani ujian (dunia) itu dengan sembrono, menuruti hawa nafsu, tidak patuh kepada rasul-Nya, kemungkinan besar ketika mati nanti tidak mendapat rahmat dan fadhal Tuhan sehingga tidak bisa bertemu lagi dengan-Nya (tersesat). Masuk ke alam penasaran, yaitu alam jin, setan, dan sebangsanya yang tidak bisa mati sampai kiamat. Menjadi wadyabalanya di neraka kelak.
Keempat, sai. Yaitu berlari kecil dari Shofa dan Marwah. Lari kecil merupakan simbol bersegeralah, bergegaslah mumpung masih ada kesempatan (bukannya jalan santai ataupun berlari kencang). Bersegeralah memproses diri mendekat sampai bertemu dengan-Nya. Dunia (kehidupan) ini hanyalah sebagai ujian, bukanlah tujuan.
Hanya mampir sebentar mengisi perbekalan menuju kehidupan abadi. Cita-cita luhur dan mulia yang hendak dituju masih sangat jauh. Oleh karena itu, bersegeralah! Jangan santai, apalagi sembrono meremehkan. Sebab, besok pagi atau satu jam lagi mati tidak bisa diketahui. Karena tidak tahu kapan harus mati, maka senantiasa menjaga ajeg zikirnya, hati-hati dan waspada, serta selalu mohon belas kasih dan ampunan-Nya.
Menyatunya hidup dan mati
Di sisi lain, Shofa dan Marwah merupakan simbol dua kampung, yaitu kampung dunia dan kampung akhirat. Memahami bahwa dunia itu gandeng dengan akhirat. Senyatanya, ketika ibadah berusaha meyakini seolah-olah sebentar lagi akan mati. Tetapi ketika berdunia berusaha meyakini seolah-olah akan hidup selamanya. Sehingga, keyakinan antara besok mati maupun hidup selamanya bisa menyatu di dada, dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kelima, memotong rambut. Adalah simbol memotong mahkota kehidupan. Mahkota adalah sesuatu yang disayang dan dijaga kelestariannya. Wujudnya adalah watak aku (pengakuan). Mengaku (merasa) lebih hebat, lebih baik, lebih pintar, maupun mengaku hak milik atas segala yang dimiliki (padahal semuanya milik-Nya). Sehingga tidak butuh pitutur(sunah) rasul-Nya.
Mahkota ini harus dipotong. Jangan sampai ia mengganggu, apalagi menguasai jati diri manusianya. Dipotong dalam arti diperangi, dijihadkan dengan sebenar-benar jihad.
Di samping kelima lakon di atas, ada lakon lain yang dianjurkan untuk dikerjakan. Di antaranya adalah menyembelih binatang kurban (simbol membunuh nafsu bangsa hewan). Melempar jumrah, yang bentuknya berupa kerikil-kerikil kecil. Adalah melempar perkara kecil/remeh yang biasanya disepelekan manusia (suka dipuji, ingin dilihat orang lain, ingin diakui/dihargai kerja kerasnya, berbagai macam pamrih dunia).
Dengan wukuf di Arafah tersebut, orang-orang yang melaksanakan haji diharapkan menjadi arif dan sadar akan eksistensi dirinya, dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pergi, sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, serta memanifestasikan dan mengaplikasikan kesadaran tersebut dalam bentuk tindakan konkret dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakatnya.

Haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif, cinta harta, nafsu birahi, amarah, dan berkata keji atau perkataan kotor. Dalam berhaji, manusia dilarang mengenakan perhiasan atau parfum. Bahkan sebaliknya (sangat) dianjurkan untuk rela berkorban apa saja yang menjadi miliknya -- termasuk yang paling dicintainya, sebagaimana Nabi Ibrahim as yang rela mengorbankan Ismail, putra yang amat dicintainya (lihat QS 37: 99-113).

Said Hawwa dalam buku Al-Islam menyatakan bahwa dengan ibadah haji, seseorang dapat belajar tentang banyak hal, terutama tentang persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persamaan manusia (al-musawah), dan persatuan umat. Dengan haji pula, seseorang dapat belajar tentang perjuangan kesabaran, kesediaan untuk berkorban tanpa pamrih, toleransi,dan kepedulian sosial.

Namun demikian, yang paling penting dari itu semua, untuk bisa membuktikan marifat kepada-Nya, harus punya ilmu marifat lebih dahulu. Hebatnya lagi, ia dapat dibumikan dalam keseharian. Sama halnya untuk menjadi dokter, maka berguru ilmu-ilmu kedokteran adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi.

Terlebih di bulan haji saat ini, tiada perkara yang lebih mulia selain belajar membuktikan Arofah-Nya. Walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, sesuai tingkat mampu masing-masing. Misalnya dengan berkorban (menyerahkan) sedikit harta pada Yang Punya. Syukur-syukur sesuai syarat rukun yang telah ditentukan sambil berusaha memenuhi perintah-Nya: ..dan bunuhlah dirimu !! Hal itu lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu.. (QS.2:54). Yang harus dibunuh adalah wataknya nafsu serta berbagai macam pengakuan (bukan wujudnya jiwa raga).

Demikian hakikat dan makna ibadah haji dan wukuf di arafah ...semoga bermanfaat bagi kita semua dan menambah keimanan dalam hati kita ...Amiien.

0 komentar: