Muhammad Hasan Basri

Laki-laki, 21 tahun

Lumajang, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Windows 8 SM Zero
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Rabu, 17 Juni 2015

KEKHUSUSAN DAN KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN

KEKHUSUSAN DAN KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
1.     Puasa bulan Ramadhan adalah rukun keempat dalam Islam. Firman Allah ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183).
Sabda Nabi r:
(( بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكاَةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ البَيْتِ الحَرَامِ )) متفق عليه.
“Islam didirikan di atas lima sendi, yaitu: syahadat tiada sembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke Baitul haram.” (Hadits Muttafaq alaih).
Ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan kebaikan, dan pengangkatan derajat. Allah telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya dari antara amal-amal ibadah lainnya. Firman Allah dalam hadits yang disampaikan oleh Nabi r:
“Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada aroma kasturi.” (Hadits Muttafaq alaih).
Dan sabda Nabi r:
(( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ)) متفق عليه.
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hadits Muttafaq alaih).
Maka untuk memperoleh ampunan dengan puasa Ramadhan, harus ada dua syarat berikut ini:
1.     Mengimani dengan benar akan kewajiban ini.
2.     Mengharap pahala karenanya di sisi Allah ta’ala.
3.     Pada bulan Ramadhan diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan berisi keterangan-keterangan tentang petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil.
4.     Pada bulan ini disunnahkan shalat tarawih, yakni shalat malam pada bulan Ramadhan, untuk mengikuti jejak Nabi r, para sahabat dan khulafa’ur rasyidin. Sabda Nabi r:
(( مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ )) متفق عليه.
“Barangsiapa mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(Hadits Muttafaq alaih).
1.     Terdapat pada bulan ini Lailatul Qadar (malam mulia), yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, atau sama dengan 83 tahun 4 bulan. Malam di mana pintu-pintu langit dibukakan, doa dikabulkan, dan segala takdir yang terjadi pada tahun itu ditentukan. Sabda Nabi r:
((مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ)) متفق عليه.
“Barangsiapa mendirikan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(Hadits Muttafaq alaih).
Malam ini terdapat pada sepuluh malam terakhir, dan diharapkan pada malam-malam ganjil lebih kuat daripada malam-malam lainnya. Karena itu, seyogyanya seorang muslim yang senantiasa mengharap rahmat Allah dan takut dari siksa-Nya. Memanfaatkan kesempatan pada malam-malam itu dengan bersungguh-sungguh pada setiap malam dari kesepuluh malam tersebut dengan; shalat, membaca Al Qur’anul karim, dzikir, doa, istighfar dan taubat yang sebenar-benarnya. Semoga Allah menerima amal ibadah kita, mengampuni, merahmati dan mengabulkan doa kita.
1.     Pada bulan ini terjadi peristiwa besar yaitu perang Badar, yang pada keesokan harinya Allah membedakan antara yang haq dan yang batil, sehingga menanglah Islam dan kaum muslimin serta hancurlah syirik dan kaum musyrikin.
2.     Pada bulan suci ini terjadi pembebasan kota Makkah Al Mukarramah, dan Allah memenangkan Rasul-Nya. Sehingga masuklah manusia ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong dan Rasulullah mengahancurkan syirik dan paganisme yang terdapat di kota Makkah, dan Makkah pun menjadi negeri Islam.
3.     Pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat.
Betapa banyak berkah dan kebaikan yang terdapat dalam bulan Ramadhan. Maka kita wajib memanfaatkan kesempatan ini untuk bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan beramal shalih. Semoga kita termasuk orang-orang yang diterima amalnya dan beruntung.
Perlu diingat bahwa ada sebagian orang –semoga Allah memberinya petunjuk- mungkin berpuasa tapi tidak shalat, atau hanya shalat pada bulan Ramadhan saja. Orang seperti ini tidak berguna baginya; puasa, haji, maupun zakat. Karena shalat adalah sendi agama Islam yang ia tidak dapat tegak kecuali dengannya. Sabda Nabi r:
(( أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَخَرَجَ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ، فَأَبْعَدَهُ الله، قُلْ: آمِيْنَ، فَقُلْتُ: آمِيْنَ )) رواه ابن خزيمة وابن حبان في صحيحه.
“Jibril datang kepadaku dan berkata: Wahai Muhammad, siapa yang menjumpai bulan Ramadhan, namun setelah bulan itu habis dan ia tidak mendapat ampunan, maka jika ia mati ia masuk neraka. Semoga Allah menjauhkannya. Katakanlah: amin, aku mengatakan: amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya)([1]).
Maka seyogyanya waktu-waktu pada bulan Ramadhan dipergunakan untuk berbagai amal kebaikan, seperti: shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, zikir, doa dan istighfar. Ramadhan adalah kesempatan  untuk menanam bagi para hamba Allah, untuk membersihkan hati mereka dari kerusakan.
Juga wajib menjaga anggota badan dari segala dosa, seperti: berkata yang haram, melihat yang haram, mendengar yang haram, minum dan makan yang  haram; agar puasanya menjadi bersih dan diterima dan orang yang berpuasa memperoleh ampunan dan pembebasan dari api neraka.
Tentang keutamaan Ramadhan, Nabi r bersabda:
(( رَأَيْتُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِيْ يَلْهَثُ عَطَشًا، فَجَاءَهُ صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ فَسَقَاهُ وَأَرْوَاهُ )) رواه الحاكم والترمذي والديلمي والطبراني في الكبير، وهو حديث حسن.
“Aku melihat seorang laki-laki dari umatku terengah-engah kehausan, maka datanglah kepadanya puasa bulan Ramadhan lalu memberinya minum sampai kenyang.” (HR. Al Hakim, At Turmudzi, Ad Dailami dan At Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir dan hadits ini hasan).
(( الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ وَالجُمُعَةُ إِلَى الجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ )) رواه مسلم.
“Shalat lima waktu, shalat Jum’at ke shalat jum’at lainnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan.” (HR. Muslim).
Jadi hal-hal yang fardhu ini dapat menghapuskan dosa-dosa kecil, dengan syarat dosa-dosa besar ditinggalkan. Dosa-dosa besar yaitu: perbuatan yang diancam dengan hukuman di dunia dan siksaan di akhirat. Misalnya: zina, mencuri, minum arak, mencaci kedua orang tua, memutuskan hubungan kekeluargaan, transaksi dengan riba, mengambil risywah (uang suap), bersaksi palsu, memutuskan perkara dengan selain hukum Allah.
Seandainya tidak terdapat dalam bulan Ramadhan keutamaan-keutamaan selain keberadaannya sebagai salah satu fardhu dalam Islam, dan waktu diturunkannya Al Qur’anul Karim, serta adanya Lailatul Qadar –yang merupakan malam yang lebih baik dari seribu bulan- di dalamnya,, niscaya itu sudah cukup. Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya([2]).


Read More --►

8 Cara Mudah Cari Pacar & Beberapa Cara Membuat Wanita Jatuh Cinta dan Tersenyum

Bosan dengan status jomblo Anda yang tak juga berakhir? Tak perlu datangi dukun. Cukup lakukan hal-hal di bawah ini untuk memperbesar kesempatan Anda mendapatkan pacar baru.
1. Online
Asal dilakukan dengan hati-hati, situs jaringan sosial bisa jadi ajang cari jodoh paling efektif. Jangan lupa pasang foto Anda yang paling menarik.
2. Ke luar
Bagaimana bisa bertemu calon pacar jika Anda hanya mengurung diri di kamar sambil nonton tivi? Terima ajakan jalan dari teman-teman dan penuhi undangan event yang Anda terima.
3. Ikut kursus
Coba daftar kursus yang menarik minat Anda. Kursus masak, kursus bahasa, atau kursus musik mungkin? Siapa tahu ada teman kursus yang bisa jadi calon pacar?
4. Pinjam anjing/kucing lucu
Ajak jalan-jalan binatang peliharaan menggemaskan. Dijamin akan ada sesama pecinta binatang yang menghampiri Anda untuk sekadar mengelus-elus si hewan berbulu.
5. Tatap mata
Taktik ini selalu digunakan para perayu ulung adalah menatap mata lawan bicara.
6. Ajak ngobrol orang asing
Baik di supermarket, di bis, atau di ruang tunggu dokter, jangan ragu untuk ajak bicara orang di sebelah Anda. Ini akan membuat Anda terlihat ramah, terbuka, dan mudah didekati. Pintar-pintar pilih topik dan hentikan pembicaraan jika lawan bicara terlihat terganggu.
7. Siap tampil
Tak perlu dandan berlebihan, tapi usahakan penampilan Anda selalu rapi dan bersih setiap saat. Anda tak akan pernah tahu kapan akan bertemu pria atau wanita yang menarik. Lebih baik siap-siap dari awal, bukan?
8. Longgarkan persyaratan

Anda ingin pacar yang tingginya 180cm, hidung mancung, kulit putih, kaya raya, jago nyanyi, dan berprofesi foto model. Wajar saja jika Anda tak juga menemukan jodoh yang klop. Longgarkan persyaratan Anda dan coba berkencan dengan tipe pria/wanita yang berbeda. Siapa tahu ternyata selama ini Anda mencari tipe yang salah.

30 Cara Membuat Cewek Selalu Jatuh Cinta Kepadamu

Berikut ini 30 Cara Membuat Wanita Jatuh Cinta dan Tersenyum:
1. Mampu membuat dia tersenyum ketika dia tengah bersedih.
2. Katakan padanya bahwa dia BEAUTIFUL, bukan SEXY apalagi HOT.
3. Kenalkan dia ke keluargamu dan sahabat-sahabatmu.
4. Perlakukan dia sama ketika bersama teman-temanmu maupun ketika berduaan.
5. Selalu luangkan waktumu untuk sekedar mengucapkan ‘selamat pagi’ dan ‘selamat malam’.
6. Jangan pernah membandingkan dia dengan wanita manapun.
7. Sesekali, berilah dia sebuah kejutan yang membuat hatinya senang.
8. Perhatian hal-hal kecil tentang dia. Terkadang itu sangat berarti baginya.
9. Ketika dia sedih dan tak ingin berbagi, genggamlah tangannya. Tunjukkan bahwa kamu peduli dan akan menunggu hingga dia siap bercerita denganmu.
10. Jangan pernah menggoda wanita lain, apalagi di hadapannya.
11. Hampiri dia ketika dia tengah bersama teman-temannya. Tunjukkan bahwa kamu adalah pria yang tepat baginya.
12. Ceritakan lelucon yang lucu, lelucon bodoh, lelucon yang garing, pokoknya lelucon yang lucu gak lucu bisa buat dia tertawa.
13. Sesekali bertengkarlah dengan nya, namun pastikan dialah pemenang nya.
14. Ketika dia tengah marah besar padamu, sebuah pelukan mampu membuat dia luluh.
15. Jangan pernah lewatkan kesempatan mengecup keningnya ketika kalian akan berpisah.
16. Buatlah sebuah karya hasil dirimu sendiri khusus untuk dirinya.
17. Pastikan dia merasa aman, nyaman dan bahagia setiap kali berada disampingmu.
18. Jangan pernah mencari alasan atas sebuah kesalahan yang memang kamu lakukan.
19. Jangan pernah melewatkan sehari pun tanpa mengucapkan ‘I Love You’.
20. Sesekali berikan pujian bahwa dia wangi, tapi pastikan dirimu juga wangi pada saat itu.
21. Jangan pernah merubah dirinya menjadi seorang yang kamu inginkan.
22. Jangan pernah berkata dusta hanya untuk membuatnya tertawa.
23. Ketika ada masalah, hindari mencari siapa yang benar/salah. Lebih baik temukan solusinya, terutama pendapat dia.
24. Jangan lupa tuk memujinya ketika dia melakukan sesuatu unutkmu sekecil apa pun itu.
25. jangan berpura-pura menjadi orang lain untuk mendapat perhatiannya. BE YOURSELF.
26. Jadikan dia prioritasmu, bukan playstationmu, bukan futsalmu, apalgi sahabat wanitamu.
27. Selipkan catatan-catatan kecil ditempat yang mudah dia temukan hanya untuk dia tau bahwa kamu bahagia bersamanya.
28. datangi rumahnya, lempar kerikil kecil ke jendelanya hanya karena kamu merindukannya.*edisi sinetron*
29. Jangan lupa hari jadian kalian.
30. Ada 1 hari dalam sebulan kalian harus sangat-sangat megerti dia, yaitu ketka dia PMS.
Read More --►

3 Cara Sukses Menjadi Playboy Sejati

Tips jadi cowok playboy atau cara jadi cowok playboy. Selamat membaca semoga menjadi referensi dan inspirasi untuk menjalani hidup

Dalam menyalurkan perasaan melalui pandangan harus disesuaikan dengan wajah kita dan cewek yang hendak ditaklukkan. Ada 3 macam jenis pandangan untuk menjadi playboy sejati. Pandangan innocent, romance dan garang. Tiap-tiap pandangan ini akan optimal bila disesuaikan dengan karakteristik wajah anda. Bagaimanakah penjelasannya?

Pertama adalah pandangan "innocent" alias polos
Anak kecil, tidak berdosa dan tidak bersalah apa-apa. Bagi pria yang memiliki bentuk wajah bulat, oval dan agak chubby tentu ini merupakan solusi yang tepat. Wajah dengan kulit cerah tentu dapat dengan mudah mengekplorasi jenis pandangan ini dengan optimal. Namun hal ini bukan berarti kita yang merasa wajah kita item tidak pantas menggunakan jenis pandangan ini. Inget, karakteristik wajah yang terpenting dan bukan jenis warna kulit. Dengan membuat pandangan seperti ini tentu cewek akan merasa "gemes" dan "pengen mencubit pipi kamu!". Dengan pandangan seperti ini, dijamin cewek yang hendak anda taklukkan menjadi lebih agresif dan malah ingin menggaet anda! Pandangan ini cukup manjur untuk membuat seorang cewek yang perasaannya sedang marah langsung reda. Saya peragakan pandangan mata innnocent yang polos itu.

Kedua adalah pandangan "romance" alias romantis
Nah, dibandingkan pandangan yang lain, pandangan romantis memiliki keunggulan lebih. Sifat pandangan ini berlaku universal pada semua cewek. Tidak melihat bagaimana sifat cewek yang dihadapi, dengan pandangan seperti ini maka kita bisa menaklukkan cewek tersebut. Ingat, semua cewek di dunia menginginkan sosok cowok yang romantis! Karena dengan romantis, cewek akan merasa nyaman dan dihargai. Selain universal untuk cewek yang dipandangi, ternyata pandangan seperti ini juga bersifat universal pada cowok. Semua cowok bisa memakai pandangan romantis ini tanpa tergantung dari karakteristik wajahnya. Cukup berikan pandangan yang mendalam kepada cewek itu dan tunjukkan sisi romantis-mu dan dia jadi milik kamu!

Ketiga adalah pandangan "garang".

Kesan pandangan yang memberikan suasana "liar", "galak", "kuat" tentu bisa memikat hati wanita dengan sekejap. Lihat, kenapa terkadang cewek menyukai cowok yang jelek, bertato, pakaian lusuh padahal disekitarnya banyak cowok yang berpakaian rapi, bersih dan wangi? Semua cewek memiliki pikiran liar di lubuk otak yang paling dalam. Mereka selalu tertarik dengan sesuatu yang "unik" dari seorang cowok dibandingkan cowok lain. Lihatlah, ada cewek yang dengan sabar dengan cowok yang pemarah dan kita tentu bingung dibuatnya. Justru bisa jadi cewek tersebut menyukai pandangan cowok yang sinis, cuek dan garang. Muncul sifat macho dengan pandangan seperti ini. Bila anda memiliki mata yang sipit tentu dapat dengan mudah menggunakan jenis pandangan seperti ini.
 
 Nah agar pandangan-pandangan kamu berhasil, kamu harus rajin melatihnya di kaca kamar, mobil, spion motor, atopun semua aja yang kamu punya yang bisa buat ngaca.
Read More --►

Jumat, 03 Oktober 2014

Dasar Pemikiran Islam

Dasar Pemikiran Islam 

Mengetahui para pemikiran Islam baik dari dalam negeri maupun luar negeri sangat penting karena mayoritas (87%) penduduk Indonesia beragama Islam. Memang banyak ilmuwan sosial politik meramalkan peranan agama akan mengalami penurunan sejalan dengan laju modernisasi dan bahkan mereka memandang agama menjadi faktor negatif dalam modernisasi. Akan tetapi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam kita masih melihat peranan agama yang begitu dominan di dalam kehidupan.
         Wajah yang terlihat jelas dari peranan Islam bagi pemeluknya adalah dalam bidang politik. Banyak ilmuwan dan awam baik Muslim maupun non-Muslim melihat image Islam sebagai agama yang berkelindan dengan politik. Memang sejarah awal perkembangan Islam menunjukkan wajah politik, dimana umat Islam harus berperang melawan kekuatan politik lainnya. Untung berpihak pada umat Islam dan Islam berhasil menyebarkan dari Spanyol di barat sampai India di sebelah timur hanya dua abad mengikuti kelahirannya.
Sekarang pun masih cukup banyak umat Islam yang ingin menampilkan wajah  politik Islam yang monoton untuk menghadapi kekuatan politik lainnya, terutama Barat yang diasumsikan sebagai pendukung kekuatan Kristen dan Yahudi. Mereka berkeyakinan kalau Yahudi dan Kristen tidak mau mengakui keberadaan umat Islam sebagaimana terjadi di awal sejarah Islam dan ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS 2 Al-Baqarah: 120). Sebaliknya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meyakini kalau ayat itu disampaikan khusus kepada Nabi Muhammad SAW di Madinah ketika menghadapi kelompok-kelompok kaum Yahudi dan Nasrani yang sikapnya militan. Masalah pokok dari pengkhianatan kaum Yahudi terhadap Piagam Madinah, karenanya, bukan bermotivasi keagamaan, namun lebih karena persoalan kompetisi politik; dan Nabi melawan mereka tidak didorong oleh kepercayaan agama tetapi oleh pertimbangan-pertimbangan politis. Gus Dur tidak ingin menampilkan politik Islam yang monoton dan melihat Piagam Madinah sebagai justifikasi bagi manifestasi politik Islam yang inklusif, yaitu politik Islam yang menekankan pada nilai-nilai substansial Islam yang universal seperti keadilan, persamaan, kebebasan, dan syura’ (demokrasi). Gus Dur sangat kritis terhadap bentuk formal dan simbol-simbol politik Islam yang seringkali diperankan mengingkari substansi dari nilai-nilai Islam tersebut. Dia berkeyakinan nilai-nilai universal Islam selaras dengan nilai-nilai Hak-hak Asami Manusia (HAM) dalam Deklarasi Hak-Hak Asami Manusia tahun 1948 sehingga dia melihat Barat bukan sebagai musuh tetapi sebagai mitra. Namun dia perlu mengembangkan konsep HAM dari lingkungan umat Islam sendiri untuk menangkal proses sekulerisasi seperti yang terjadi dalam peradaban Barat.
            Artikel ini ingin lebih jauh menganalisa pemikiran Gus Dur untuk menempatkan Islam dalam konteks modern, terutama berkaitan dengan konsep negara Pancasila di Indonesia. Sejauh mana pemikiran Gus Dur mendapatkan justifikasi dalam pemikiran fiqih (hukum Islam) NU. Artikel dibagi beberapa sub-bab yang menjelaskan Islam tidak punya konsep negara, pentingnya negara untuk mencegah anarkhi, alasan-alasan subordinasi Islam pada negara Pancasila, dan hubungan
Islam dengan Pancasila.   
TIDAK ADA KONSEP NEGARA ISLAM
Interaksi Islam dan politik mengalami pasang surut. Islam bermula dari suatu komunitas umat di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW. Kemudian umat Islam berhasil memperoleh kekuasaan politik dengan membentuk suatu negara dalam bimbingan langsung Nabi. Nabi tidak menyebutnya sebagai negara Islam, sedangkan dasar pendirian negara adalah Konstitusi Madinah, suatu piagam yang dibuat oleh Nabi Muhammad dan disaksikan oleh berbagai kelompok dalam suatu masyarakat yang plural, sebagai rambu-rambu untuk mengatur suatu masyarakat yang plural itu dan mereka secara bersama-sama akan mengahadapi segala ancaman dari luar. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka negara dipimpin oleh seorang khalifah (pengganti Nabi) dan kemudian umat Islam menyebut sistem pemerintahan kekhalifahan. Umat Islam masih memiliki satu negara yang utuh pada masa Khulafaur Rasyidin, namun pada masa berikutnya kekhalifahan tidak lagi tunggal. Bahkan sistem kekhalifahan dihapus pada tahun 1924 ketika kekhalifahan Turki Utsmani diganti menjadi negara modern. Dan sejak itu berdirilah beberapa negara bangsa di daerah yang mayoritas penduduknya umat Islam. Beberapa diantaranya mengatasnamakan sebagai negara Islam walaupun masing-masing memiliki bentuk negara maupun pemerintahan yang berbeda dan mungkin malah saling bertentangan.
Umat Islam di suatu daerah tertentu memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk bersama-sama merumuskan bentuk sistem sosial yang tepat bagi penerapan nilai nilai Islam. Demikian juga dengan bentuk negara hendaknya dimusyawarahkan oleh sekelompok umat Islam yang berdomisili di suatu daerah tertentu. Dalam kasus minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak dibebani dan memang tidak mungkin bagi mereka mendirikan negara Islam (2000b: 56). Bentuk negara Islam yang ada merupakan hasil ijtihad yang mencari legitimasi pada Islam, dan Gus Dur tidak menentang keberadaan negara yang mengatasnamakan Islam.
Di Indonesia, umat Islam tidak mendirikan negara Islam tetapi negara bangsa yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan negara sekuler karena Pancasila mengakui adanya Tuhan Yang Esa, disamping adanya suatu kementerian/lembaga yang mengurusi kepentingan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Keberadaan negara Pancasila dilegitimasi oleh hukum fiqih NU dan diakui eksistensinya selama negara masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada.
Penerimaan bentuk final negara Pancasila didasarkan pada keyakinan Gus Dur kalau Islam tidak punya konsep negara Islam. Dia mengikuti argumen Ali Abdel Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id al-Sulthanan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur’an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya (Wahid, 2000a: 1). Tidak adanya konsep negara dalam Islam karena sesuai dengan pendekatan universalitas agama Islam itu sendiri.
a)    Maka Bijaksana Allah yang tidak menentukan (secara qath’i) sistem kenegaraan. Karena Maha Mengetahui-Nya, bentuk negara di jagad raya ini bervariasi; sesuai dengan letak geografi dan demografi masing-masing kawasan.
b)    Tugas para Nabi dan Rasul tidak untuk membentuk negara, tetapi membentuk kemanusiaan manusia; memberi pribadi manusia dan membentuk watak manusia. Hadits: “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan duniamu)”. Meskipun demikian, dasar-dasar pengelolaan negara –jika diinginkan stabil- telah diletakkan sedemikian rupa, dengan signifikan. Dua sisi kecenderungan sebuah negara disiratkan dengan firman Allah: “Wa syaawirhum fil amr” (QS Al-Imran 159), bagi negara monarkhi dan “Wa amruhum syuura bainahum”, bagi negara demokrasi (Bisri, 2000:viii-ix)
Memang sangat ideal bila kita dapat mendirikan negara Islam. Namun caranya harus secara evolusioner agar tidak terjadi kekerasan atas nama Islam. Pemikiran para teoritisi politik terkenal dalam Islam tidaklah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan. Ibn Abi Ruba’i, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan Al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencari masukan dari fiqh untuk menyempurnakan bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah Al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah utopia berjudul “Negara utama”(Al-Madinah, Al-Fadhilah).
Ada tiga jenis negara menurut mazhab Syafi’i, mazhab Islam yang dominan di Indonesia: dar Islam (negara Islam), dar Harb (negara perang), dan dar Sulf (negara damai). Menurut paham ini, negara Islam harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama berlakunya syariah Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau anti-Islam, harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan syariah Islam dari undang-undang negara. Negara damai harus dipertahankan, karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara (Wahid,1989:10).
Berdasarkan kategori tersebut maka Indonesia bukan termasuk negara Islam, karena syariah tidak dijadikan sebagai dasar negara. Indonesia dapat dikategorikan sebagai dar Sulf (negara damai) sehingga harus dipertahankan karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Pada zaman Nabi Muhammad SAW dikenal juga negara damai seperti negara Habsyi (Ethiopia) yang melindungi minoritas umat Islam di dalamnya. Umat Islam di Ethiopia ini tidak dibebani dengan kewajiban mendirikan negara Islam, paling tidak mereka mengikuti hukum agama yang termaktub dalam fiqih. Dari uraian ini kita tahu bahwa jangkauan syariah dapat bersifat sangat luas mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bidang ibadah maupun bidang kehidupan duniawi (muammallah), disamping penerapan hudud law. Sementara jangkauan syariah di Malaysia, suatu negara yang berdasarkan Islam, tidak mencakup hudud law dan pemberlakuannya ditunda. Sementara jangkauan syariah yang berlaku di Indonesia identik dengan yang dijalankan minoritas umat Islam di Ethiopia pada zamanNabi Muhammad SAW.
SUBORDINASI ISLAM TERHADAP NEGARA PANCASILA
Menurut Gus Dur pada garis besarnya, ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara di Indonesia, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif, dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali dihilangkan kedudukan formalnya dan umat Islam tidak menghubungkan ajaran agama dengan ursan negara. Hubungan antara kehidupannya dengan negara ditentukan oleh pola hidup kemasyarakatan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, kalau mereka menjadi muslim yang sesuai dengan standar, itu terjadi karena latar
belakang pendidikan dan kultural masing-masing.
 Sedangkan sikap responsif fakultatif adalah jika kekuatan gerakan Islam cukup besar di parlemen atau di MPR maka mereka akan berusaha membuat perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tidak memaksakan, melainkan menerima aturan yang dianggap berbeda dari ajaran Islam. Sedangkan sifat konfrontatif, sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap “tidak Islami”.
         Gus Dur sejalan dengan organisasi afiliasinya NU mengambil bentuk yang pertama. Mayoritas umat Islam Indonesia mendukung negara Pancasila dan hanya sedikit yang menginginkan berdirinya negara Islam dan itupun dilakukan dengan cara damai karena mereka tidak melawan otoritas pemegang kekuasaan negara melainkan dengan membangun “masyarakat ideal” yang diyakini sebagai pelaksanaan konsep negara dalam Islam. Konsep “masyarakat ideal” ini yang secara konsisten dirumuskan oleh para pemikir Muslim modern sejak al-Afghani hingga Sayid Qutbdan al-Maududi (Wahid,1998:69).
1.    Landasan Menerima Negara Pancasila
Pilihan NU untuk menerima konsep negara bangsa didasarkan pada kenyataan Indonesia sebagai negara pluralistik adalah sulit untuk mendirikan negara Islam formal. Bila negara formal Islam dipaksakan maka akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia (Wahid,1998:72).
Pertimbangan menerima konsep negara bangsa juga didasarkan pada pertimbangan fiqh (hukum Islam). Memang sudah seharusnya sebagai organisasi keagamaan, setiap langkah NU dilakukan untuk mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Pilihan mensubordinasikan hukum Islam pada negara didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang menjadi pedoman NU berikut ini. Dalam mengantisipasi berbagai gejala sosial NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja, maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata dengan itu berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi diri atau orang lain. Jika ternyata hal itu harus menghadapi pilihan, langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya. Tradisi pemikiran ini tidak berarti NU bersifat pesimis, menyerah sebelum bertanding, karena NU juga melakukan jalb al-masalih (melaksanakan kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temporer) yang mungkin akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) (Haidar,1998:6).
Keputusan mensubordinasikan Islam pada negara bangsa didasarkan juga pada tradisi keilmuan yang dianut NU. Tradisi keilmuan NU mempertautkan secara organis antara tauhid, fiqh dan tasauf secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan kedalam  rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah kesejarahan tersendiri (Wahid, 1999c: 154-5).
Berdasarkan tradisi keilmuan ini, NU memandang persoalan kehidupan (kemasyarakatan/ bernegara) yang tidak bercorak “hitam-putih”, karenanya penerapan hukum Islam tidak mensyaratkan ditegakkannya negara Islam. Walaupun umat Islam tidak dapat mendirikan negara Islam, tetapi itu tidak menghalangi mereka melaksanakan hukum Islam karena perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan(Wahid,
1999c : 155).
2.    Negara condition sine qua non Mencegah Anarkhi
Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuagamaan yang dianut NU telah memberi legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan fatwa “perang jihad” yang dikeluarkan Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy’ari pada permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk negara baru RI (Wahid,1999c:156).
Bagi NU, siapa yang memegang pemerintahan tidak penting karena yang harus dijaga adalah tetapnya negara. Prinsip adanya negara harus diterima terhadap kenyataan tidak adanya negara (faudla) (Wahid, 2000b: 9). Karena tujuan didirikannya negara adalah untuk mencegah anarkhi, dimana tertib sosial sebagai prasyarat bagi tertib agama. Bahkan Imam Ghazali mengatakan seratus hari pemerintahan yang otoriter adalah lebih baik dari pada keadaan anarkhis.
Dengan maksud mencegah anarkhi maka pada tahun 1936 Muktamar NU di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik, yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia, yakni mengklasifikasikan Indonesia yang sedang diperintah Hindia Belanda sebagai negara Muslim (dar al-Islam). Hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai status tanah Hindia Belanda yang sedang diperintah oleh para penguasa non-Muslim Belanda, apakah harus dipertahankan dan dibela dari serangan luar. Karena statusnya sebagai dar al-Islam maka wajib hukumnya secara fiqih untuk membela dari serangan luar. Jawabannya diambil dari salah satu kitab kuning yang berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Hasan Al-Hadhrami, dikemukakan alasan pendapat berikut: negara ini pernah mengenal adanhya kerajaan-kerajaan Islam; penduduknya masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam; dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik(Wahid,1989:9).
Justifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam  (negeri muslim), padahal dalam kenyataannya pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belanda yang kafir, memiliki dua makna yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agamanya, sebagai condition sine qua non bagi penerimaan Islam atas esksistensi negara tersebut, dan dengan demikian memberikan tolak ukur yang jelas bagi kaum Muslimin dalam kehidupannya. Di lain pihak, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politiknya ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum Muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, disamping kesetiaan pada negara yang bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan yang kuat (Wahid, 2004:1).
Selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragamanya secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat perhatian. Pemikiran seperti ini pula yang melandasi pandangan dasar kaum Al-ahlus sunnah wa al-jama’ah, seperti penerimaan mereka atas Kekhalifahan Usmaniyah di Turki atas seluruh dunia Islam, padahal mereka bukan dari suku Quraisy. (Menurut pandangan klasik paham Sunni, kepemimpinan negara (imamah), termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di tangan orang Quraisy, karena adanya hadits tentang hal ini). Dengan kata lain, pemerintahan ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya, negara Islam atau bukan.
Dasar NU melegitimasi keberadaan suatu negara didasarkan pada kesediaan negara memfasilitasi suatu lembaga yang akan mengurus kepentingan hukum Islam. Pada zaman Hindia Belanda, adanya lembaga kepenghuluan yang memungkinkan umat Islam menjalankan syariat agama, walaupun bersifat sebagian, dan sangat terbatas, menjadi alasan adanya celah kelembagaan yang dapat mengatur kehidupan syariat Islam dijalankan oleh orang-orang Islam sendiri (Haidar, 1998: 95). Kebijakan yang serupa juga dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Setelah Indonesia merdeka dan menjadi negara Pancasila maka eksistensinya dilegitimasi oleh fiqih NU, dengan konsekuensi Menteri Agama pertama KH A. Wachid Hasyim (1946-1956) mensubordinasikan syariah (hukum agama) pada supremasi ideologi Pancasila. Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat dari sudut pandang agama adalah kewajiban utama, maka mempertahankan pemerintah oleh kaum muslimin (Soekarno, Hatta, dan Syahrir) adalah kewajiban agama juga.
Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU menolak kehadiran “NII” yang didirikan oleh Kartosuwiryo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara RI menjadi waliyyul amri dharuri bissyaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU. Presiden RI diterima sebagai pemegang pemerintahan, karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (halul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun kekuasaannya harus tetap efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaannya itu, ia berwewenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang itu kepada menteri agama (Wahid, 1999c: 156-164).
Pemikiran progresif KH A. Wachid Hasyim diteruskan dan dikembangkan lebih jauh lagi oleh duet kepemimpinan KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang masing-masing terpilih sebagai Rais `Am NU dan Ketua Umum PBNU NU dalam Mukhtamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Perlu diketahui KH Achmad Siddiq pernah menjadi sekretaris pribadi Menteri Agama KH Wachid Hasyim; sedangkan Gus Dur mewarisi pemikiran progressif ayahnya KH Wachid Hasyim. Kebijakan NU menyangkut hubungan Islam dengan negara Pancasila cenderung bersifat pragmatis, mengikuti perkembangan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam mensikapi perkembangan tersebut NU hanya mendasarkan pada prinsip-prinsip fiqih (hukum agama) seperti yang saya kemukakan di atas, terutama mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menegakkan kewajiban agama. Karena itu NU tidak memaksakan pendirian negara Islam, baik pada waktu menjelang kemerdekaan maupun dalam sidang-sidang Dewan Konstituante (1957-1959); tetapi NU tidak pernah berhenti berusaha di dalam usahanya memberikan penerangan agama supaya umat siap menerima negara Islam. Bisa diibaratkan hubungan agama dan negara seperti hubungan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Pesantren puas dengan kedudukannya sebagai sub-kultur yang menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya; dan pihak masyarakat cukup mengakui peranan sentral ini. Pesantren merumuskan produk-produk hukum agama yang tidak bersikap mengikat semua masyarakat, dan pesantren memberi teladan pelaksanaan hukum-hukum agama di dalam masyarakat
tersebut.
Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Akhirnya dengan kesadaran NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72).
Gus Dur sejalan dengan Asghar Ali Engineer dalam papernya Islamic State dan the Secular State. Tujuan berdirinya negara Islam sudah penuhi oleh gagasan negara modern yang bersifat sekuler karena persamaan tujuan antara negara sekuler dan negara Islam, yaitu sama-sama melindungi hak-hak pribadi para warga negaranya, sedangkan masalah selainnya itu hanya bentuk luar yang dapat saja diubah oleh rakyat melalui lembaga perwakilan (Wahid, 1999b : 22). Gus Dur juga sejalan dengan mantan Mahkamah Agung di Mesir, Muhammad Said Al-Ashmawi, bahwa hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana Mesir saat ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan syariah karena hukum itu telah menampung dua hal penting dari syariah, yaitu unsur ketahanan (detterence) dan hukumnya (punitive) (Wahid,2000b:7).
DUALISME HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PANCASILA
Gus Dur mengemukakan konsep dualisme legitimitas antara agama dan negara, yakni negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimasi pada negara. Gus Dur dengan tegas menandaskan negara Pancasila tidak berkepentingan dengan negara agama, dalam hal ini negara Islam. Karena itu negara Pancasila tidak dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam (Wahid, 2000b: 11). Komitmen umat Islam pada negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian (muamalah), yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini mempunyai dimensi ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian itu sebagai bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan semua urusan keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Sebaliknya negara tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan agama. Karena itu Gus Dur tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan suatu agama sebagai agama resmi. Pemerintah Orde Baru hanya mengakui 5 agama resmi, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, disamping diakui juga aliran kepercayaan kepada Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde Baru sudah terlalu jauh memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan seperti ini jelas sangat berbahaya bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu domba kekuatan di dalam masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu lembaga keagamaan bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi Islam dan PGI (Persekuan Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi legitimasi oleh pemerintah untuk menindas suatu cabang yang tumbuh dalam suatu agama maka kehancuran suatu cabang itu berarti juga akan melemahkan kekuatan umat beragama itu secara keseluruhan; lalu pemerintah akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol umat beragama tersebut. Ketika muncul kasus Kong Hu Cu misalnya, Gus Dur   termasuk salah seorang yang menentang sikap pemerintah yang terlampau jauh menggunakan otoritasnya sampai memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Pada waktu itu pemerintah, dalam hal ini catatan sipil, tidak mau mengakui perkawinan dua warga Kong Hu Chu karena Kong Hu Chu bukanlah agama yang diakui secara resmi negara.
Dalam pandangan Gus Dur, negara hendaknya hanya bertugas mengatur jalannya kehidupan antar maupun inter umat beragama. Karenanya negara dituntut bersikap adil dan tidak boleh berpihak kepada salah satu agama. Dalam pandangan Gus Dur, pemerintah bertindak sebagai polisi lalulintas, yang mengatur jalannya lalu lintas hubungan antara umat beragama. Dasar untuk mengatur hubungan itu adalah dasar negara Pancasila. Negara tidak boleh memonopoli penafsiran Pancasila, mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka, sebagai suatu kompromi politik dari berbagai kekuatan, sehingga semua umat beragama diberi kebebasaan untuk berpartisipasi dalam memaknai ideologi Pancasila. Gus Dur menyakini demokrasi adalah nilai yang paling prinsip dalam Pancasila dan harus dijunjung tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. Termasuk persoalan ideologi. Pancasila sebagai ideologi terbuka harus mengakomodasi semua ideologi/isme yang berkembang di masyarakat, termasuk politik Islam (Wahid, 1991).
Dualisme hubungan agama dan negara sepintas nampak bersifat sekuler. Tapi jika kita coba memahami lebih mendalam lagi, justru Gus Dur ingin mengembalikan agama kepada keadaannya yang genuine dan autentik. Yaitu agama yang bersifat memperibadi, sebagai tindakan privat yang lebih menekankan pada pencapaian pengalaman spiritual. Keadaan seperti ini dapat dicapai jika agama terbebaskan dari segala bentuk objektivikasi yang biasanya muncul dari wilayah publik. Bisa jadi yang publik itu berasal dari habitat yang sama seperti organisasi keagamaan, maupun dari wilayah publik lain seperti politik. Dalam konteks kehidupan agama di Indonesia, realitas publik yang disebut terakhir patut memperoleh perhatian mengingat daya penetrasinya yang kuat, terutama ketika dalam suatu epoch politik menjadi sesuatu yang paling dominan. Apa pun wilayah politiknya, baik yang ada dalam lingkup negara maupun masyarakat, resistensi agama seringkali kurang begitu kokoh dalam menghadapi praktek manipulasi, seperti kecenderungan mengatasnamakan tindakan politik tertentu dengan simbol agama.
Gus Dur sangat menyadari kalau agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama merupakan sumber nilai. Apalagi Islam sebagai agama hukum sangat berkepentingan untuk menundukkan semua persoalan kepada syariah (hukum agama). Oleh karena itu, agar politik dapat memberikan kemaslahatan kepada publik maka agama perlu diperankan, bukan dalam wujudnya yang bersifat formalistik, melainkan yang substantif dalam pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian dasar-dasar etik dan moral terhadap seluruh proses politik.
Ini berarti jalannya pemerintahan tidak lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijakan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqih, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan di kala melaksanakan wewenangnya. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijakan kepada pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah) (Wahid,1999c:159).

5.Simpulan
Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan karena dalam Al-Qur’an tidak ada doktrin, Nabi Muhammad SAW tidak bersifat politis tapi moralis, Nabi tidak merumuskan mekanisme suksesi, dan sesuai dengan pendekatan universal bahwa misi kenabian bukan untuk mendirikan negara tapi membentuk kemanusiaan manusia, dan bentuk negara itu bervariasi. Karena itu umat Islam di Indonesia menerima Negara Pancasila berdasarkan pertimbangan: (1) Sebagai negara pluralistik maka bila negara formal Islam dipaksakan akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia; (2)  Kaidah-kaidah hukum NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu; (3) Tradisi keilmuan NU mempertautkan dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan kedalam  rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin.
Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Dengan kesadaran NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global.

Read More --►