Muhammad Hasan Basri

Laki-laki, 21 tahun

Lumajang, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Windows 8 SM Zero
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Senin, 12 Mei 2014

Sejarah Buku dalam rangka memperingati “Hari Buku Nasional”

Buku merupakan media utama dalam menyampaikan pembelajaran. Kebanyakan proses menyerap ilmu yang paling sering dilakukan adalah melalui perantara buku. Buku memang hal yang penting. Dari mulai mencatat pelajaran, hingga kejadian-kejadian penting yang mengubah sejarah ditulis di benda bernama buku ini. Ada baiknya, menyambut Hari Buku Nasional yang bertepatan pada tanggal 17 Mei nanti, bila kita mengenal sejarah dari ‘buku’ tersebut.
Awal penemuan buku, dimulai dari bangsa Mesir Kuno yang mulai bisa menulis secara berurutan. Bangsa Mesir Kuno menggunakan daun dari tumbuhan papirus untuk menulis, buktinya ditemukan pada Dinasti Kelima, buku tentang Raja Neferirkare Kaki sekitar tahun 2400 SM. Berbentuk gulungan yang juga dipakai di Yunani, Romawi, dan Cina.
Codex, merupakan kumpulan naskah kuno yang berisi ajaran agama. Codex bisa dipakai ulang karena berbentuk blok kayu yang dilapisi lilin. Seiring berjalannya teknologi, penggunaan papirus digantikan Manuskrip-kulit binatang yang sampulnya terbuat dari kayu. Tulisannya mulai rapi dan semuanya masih ditulis tangan.
Buku yang pertama kali dicetak di dunia adalah pada sebelum tahun 1905 bernama Incunabulum. Buku ini sudah dicetak (bukan lagi merupakan tulisan tangan, namun masih berupa balok kayu), terdiri dari dua jenis, Block Book/Xylographic yang terbuat dari satu pahatan dan tipografi (cetakan yang ditekan dan dapat digerakkan).
Pembuatan kertas pertama kali dimulai pada abad ke-11 dan secara masal dipakai abad ke-16. Sebenarnya, kertas kuno sudah ditemukan tahun 200 SM di Cina yang juga merupakan salah satu dari empat penemuan besar Cina. Mulai abad ke-18 dan 19 buku masin memakai bahan gabungan seperti sutera  dan banyak dipakai pada 1850-1880an. Tahun 1800 ditemukan mesin pencetak kertas yang memakai tenaga uap yang diciptakan oleh Gutenberg dan bisa mencetak 1100 lembar/jam. Di akhir abad ke-19 ditemukan lagi mesin yang bisa menyusun 6000 kata/jam dan semuanya sekali ketik.
Artinya, kemajuan suatu peradana Negara bisa dilihat dari seberapa besar daya bangsa dalam memanfaatkan buku sebagai menu prioritas dalam membaca.

Sebagai bangsa Indonesia, kita sedikit menoleh dan berkaca terhadap sejarah kemajuan negara-negara di dunia, taruhlah Jepang, Amerika, Korea dan negara-negara lainnya. Ternyata, kebangkitan peradaban itu berawal dari ketekunan membaca. Pada posisi yang demikian, buku merupakan sumber dari segala inspirasi untuk maju. Di samping itu, bangsa Negara-negara maju tidak pernah puas dengan prestasi kemajuan yang telah dicapai sehingga mereka selalu terdorong untuk terus membaca dan membaca.

Oleh karena itu, bangsa yang memiliki sumberdaya manusia unggul selalu menghasilkan barang kompetitif dan menerapkan teknologi, tidak mungkin terjadi tanpa adanya budaya membaca untuk menyerap informasi yang salah satunya adalah dengan membaca buku. Kenyataan ini membuktikan bahwa, buku menjadi kunci perubahan kemajuan peradaban dunia. Itulah sebabnya kita tidak asing dengan semboyan "buku adalah jendela peradaban". Tentu karena dari bukulah peradaban sebuah negara menjadi maju, dan dari buku pula sebuah peradaban tak memberi makna apa-apa ketika buku diabaikan begitu saja.

Krisis Minat Baca Buku
Dalam konteks Indonesia--setelah kita telaah lebih mendalam--kenapa peradaban Negara Indonesia tetap tidak maju dan selalu dibilang ketinggalan dari perkembangan segala persepektif, baik ilmu pengetahuan ataupun teknologi?. Jawabannya tidak lain, karena bangsanya lebih besar kemauan untuk bekerja kasar (menjadi kuli) dari pada bekerja membaca (konseptor).

Kita lihat dari indeks membaca masyarakat Indonesia saat ini, kurangnya minat baca dibuktikan dengan yang baru sekitar 0,001, artinya dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan dengan angka minat baca di Malaysia dan Jepang. Indeks membaca di negara itu mencapai 0,45. Selain itu berdasarkan survei UNESCO, budaya baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara dan merupakan yang paling rendah di kawasan ASEAN.

Maka, sangat tepat apa yang diungkapkan seorang sastrawan Ajip Rosidi, bahwa masyarakat Jepang sejak usia dini (kira-kira umur dua hingga tiga tahun) telah diperkenalkan dengan bahan bacaan buku. Tak heran jika bangsa Jepang dijuluki sebagai bangsa yang gemar baca buku. Bahkan ada anekdot, "kalau orang Jepang tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur."

Bagi orang Jepang, sesantai apa pun kegiatan yang mereka tengah tekuni, membaca tetap menjadi suatu kebutuhan layaknya kebutuhan makan dan minum sehari-hari. Namun, sebaliknya, bagi orang Indonesia, sesantai apa pun kegiatan yang mereka tekuni, membaca belum dijadikan suatu kebutuhan. Pendek kata, rendahnya budaya baca buku masyarakat perlu dianggap sebagai persoalan serius dan segera dicarikan solusinya.

Kebutuhan membaca setiap penduduk negeri ini boleh dibilang masih tergolong amat rendah. Walaupun demikian, optimisme kita agar masyarakat terus meningkatkan budaya harus terus digelorakan bersama. Manusia yang tidak beradab adalah orang-orang yang cuek dan tak peduli dengan budaya membaca begitupun menulis.

Tak dapat dipungkiri dan tak dapat pula kita nafikan, bahwa kondisi ekonomi terkadang membuat akses masyarakat terhadap buku-buku bermutu semakin sulit, untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok sehari-hari saja sudah susah, apalagi beli koran, buku, atau bacaan lainnya. Namun yang sangat krusial adalah minat baca masyarakat Indonesia tidak terlepas dari kurangnya kesadaran publik akan arti penting membaca dan menulis bagi peningkatan kemampuan dan kesejahteraan diri maupun bangsa.

Al-Quran mengajarkan kepada manusia agar selalu membaca, berkaitan dengan surah yang pertama kali turun sudah berupa perintah membaca (iqra). Maka, membaca tidak lain merupakan sunatullah yang mengajarkan kalau ingin maju, kita harus menguasai dan menggunakan ilmu sebagai basis dalam pendidikan. Yaitu melalui membacanya terlebih dahulu agar mendapatkan informasi, seperti ketika menerapkan iptek, sehingga gerbang utamanya tak lain adalah dengan membaca serta memahami ayat-ayat Allah, baik yang qauliyah (Alquran dan Hadis) maupun qauniyah berupa alam semesta beserta segenap isinya.

Dengan demikian, untuk membangkitkan minat baca di masyarakat, tidak lepas dari peran kebijakan pemerintah desa. Seperti, mengadakan dan mengoptimalisasikan perpustakaan berbasis kerakyatan di desa. Kemudian, mengadakan dan menghidupkan majalah dinding desa (Mading) agar masyarakat setempat terbiasa melek informasi media cetak (koran). Kesemuanya, akan berjalan dengan baik jika ada kerjasama yang sangat baik pula antara semua stake holder.

0 komentar: