Mengetahui para pemikiran Islam
baik dari dalam negeri maupun luar negeri sangat penting karena mayoritas (87%)
penduduk Indonesia beragama Islam. Memang banyak
ilmuwan sosial politik meramalkan peranan agama akan mengalami penurunan
sejalan dengan laju modernisasi dan bahkan mereka memandang agama menjadi
faktor negatif dalam modernisasi. Akan tetapi di negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam kita masih melihat peranan agama yang begitu dominan
di dalam kehidupan.
Wajah yang terlihat jelas
dari peranan Islam bagi pemeluknya adalah dalam bidang politik. Banyak ilmuwan
dan awam baik Muslim maupun non-Muslim melihat image Islam sebagai agama yang
berkelindan dengan politik. Memang sejarah awal perkembangan Islam menunjukkan
wajah politik, dimana umat Islam harus berperang melawan kekuatan politik
lainnya. Untung berpihak pada umat Islam dan Islam berhasil menyebarkan dari
Spanyol di barat sampai India di sebelah timur hanya dua abad mengikuti
kelahirannya. Sekarang pun masih cukup banyak umat Islam yang ingin
menampilkan wajah politik Islam yang monoton untuk menghadapi
kekuatan politik lainnya, terutama Barat yang diasumsikan sebagai pendukung
kekuatan Kristen dan Yahudi. Mereka berkeyakinan kalau Yahudi dan Kristen tidak
mau mengakui keberadaan umat Islam sebagaimana terjadi di awal sejarah Islam
dan ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS 2 Al-Baqarah: 120). Sebaliknya KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meyakini kalau ayat itu disampaikan khusus kepada
Nabi Muhammad SAW di Madinah ketika menghadapi kelompok-kelompok kaum Yahudi
dan Nasrani yang sikapnya militan. Masalah pokok dari pengkhianatan kaum Yahudi
terhadap Piagam Madinah, karenanya, bukan bermotivasi keagamaan, namun lebih
karena persoalan kompetisi politik; dan Nabi melawan mereka tidak didorong oleh
kepercayaan agama tetapi oleh pertimbangan-pertimbangan politis. Gus Dur tidak ingin
menampilkan politik Islam yang monoton dan melihat Piagam Madinah sebagai
justifikasi bagi manifestasi politik Islam yang inklusif, yaitu politik Islam
yang menekankan pada nilai-nilai substansial Islam yang universal seperti
keadilan, persamaan, kebebasan, dan syura’ (demokrasi). Gus
Dur sangat kritis terhadap bentuk formal dan simbol-simbol politik Islam yang
seringkali diperankan mengingkari substansi dari nilai-nilai Islam tersebut.
Dia berkeyakinan nilai-nilai universal Islam selaras dengan nilai-nilai Hak-hak
Asami Manusia (HAM) dalam Deklarasi Hak-Hak Asami Manusia tahun 1948 sehingga
dia melihat Barat bukan sebagai musuh tetapi sebagai mitra. Namun dia perlu
mengembangkan konsep HAM dari lingkungan umat Islam sendiri untuk menangkal
proses sekulerisasi seperti yang terjadi dalam peradaban Barat.
Artikel
ini ingin lebih jauh menganalisa pemikiran Gus Dur untuk menempatkan Islam
dalam konteks modern, terutama berkaitan dengan konsep negara Pancasila di
Indonesia. Sejauh mana pemikiran Gus Dur mendapatkan justifikasi dalam
pemikiran fiqih (hukum Islam) NU. Artikel dibagi beberapa sub-bab yang
menjelaskan Islam tidak punya konsep negara, pentingnya negara untuk mencegah
anarkhi, alasan-alasan subordinasi Islam pada negara Pancasila, dan hubungan Islam dengan Pancasila.
TIDAK ADA KONSEP NEGARA ISLAM
Interaksi Islam dan politik
mengalami pasang surut. Islam bermula dari suatu komunitas umat di bawah
bimbingan Nabi Muhammad SAW. Kemudian umat Islam berhasil memperoleh kekuasaan
politik dengan membentuk suatu negara dalam bimbingan langsung Nabi. Nabi tidak
menyebutnya sebagai negara Islam, sedangkan dasar pendirian negara adalah
Konstitusi Madinah, suatu piagam yang dibuat oleh Nabi Muhammad dan disaksikan
oleh berbagai kelompok dalam suatu masyarakat yang plural, sebagai rambu-rambu
untuk mengatur suatu masyarakat yang plural itu dan mereka secara bersama-sama
akan mengahadapi segala ancaman dari luar. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka
negara dipimpin oleh seorang khalifah (pengganti Nabi) dan kemudian umat Islam
menyebut sistem pemerintahan kekhalifahan. Umat Islam masih memiliki satu
negara yang utuh pada masa Khulafaur Rasyidin, namun pada masa berikutnya
kekhalifahan tidak lagi tunggal. Bahkan sistem kekhalifahan dihapus pada tahun
1924 ketika kekhalifahan Turki Utsmani diganti menjadi negara modern. Dan sejak
itu berdirilah beberapa negara bangsa di daerah yang mayoritas penduduknya umat
Islam. Beberapa diantaranya mengatasnamakan sebagai negara Islam walaupun
masing-masing memiliki bentuk negara maupun pemerintahan yang berbeda dan
mungkin malah saling bertentangan.
Umat Islam di suatu daerah
tertentu memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk bersama-sama merumuskan
bentuk sistem sosial yang tepat bagi penerapan nilai – nilai Islam. Demikian juga
dengan bentuk negara hendaknya dimusyawarahkan oleh sekelompok umat Islam yang
berdomisili di suatu daerah tertentu. Dalam kasus minoritas umat Islam di
Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak dibebani dan memang tidak mungkin
bagi mereka mendirikan negara Islam (2000b: 56). Bentuk negara Islam yang ada
merupakan hasil ijtihad yang mencari legitimasi pada Islam, dan Gus Dur tidak
menentang keberadaan negara yang mengatasnamakan Islam.
Di Indonesia, umat Islam tidak
mendirikan negara Islam tetapi negara bangsa yang berdasarkan pada ideologi
Pancasila. Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan negara sekuler karena
Pancasila mengakui adanya Tuhan Yang Esa, disamping adanya suatu
kementerian/lembaga yang mengurusi kepentingan umat Islam dalam menjalankan
ibadahnya. Keberadaan negara Pancasila dilegitimasi oleh hukum fiqih NU dan
diakui eksistensinya selama negara masih diikuti pola perilaku
formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus
penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada
penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada.
Penerimaan bentuk final negara Pancasila didasarkan pada keyakinan Gus Dur
kalau Islam tidak punya konsep negara Islam. Dia mengikuti argumen Ali Abdel
Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id al-Sulthanan (Islam
dan Sendi-Sendi Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur’an tidak pernah
ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak
memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak
pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya (Wahid,
2000a: 1). Tidak adanya konsep negara dalam Islam karena sesuai dengan
pendekatan universalitas agama Islam itu sendiri.
a)
Maka Bijaksana Allah yang tidak menentukan
(secara qath’i) sistem kenegaraan. Karena Maha Mengetahui-Nya,
bentuk negara di jagad raya ini bervariasi; sesuai dengan letak geografi dan
demografi masing-masing kawasan.
b)
Tugas para Nabi dan Rasul tidak untuk membentuk
negara, tetapi membentuk kemanusiaan manusia; memberi pribadi manusia dan
membentuk watak manusia. Hadits: “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum (Kamu
lebih tahu urusan duniamu)”. Meskipun demikian, dasar-dasar pengelolaan negara
–jika diinginkan stabil- telah diletakkan sedemikian rupa, dengan signifikan.
Dua sisi kecenderungan sebuah negara disiratkan dengan firman Allah: “Wa
syaawirhum fil amr” (QS Al-Imran 159), bagi negara monarkhi dan “Wa
amruhum syuura bainahum”, bagi negara demokrasi (Bisri, 2000:viii-ix)
Memang sangat ideal bila kita dapat mendirikan negara
Islam. Namun caranya harus secara evolusioner agar tidak terjadi kekerasan atas
nama Islam. Pemikiran para teoritisi politik terkenal dalam Islam tidaklah
mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan. Ibn Abi Ruba’i, Al-Ghazali, Ibn
Taimiyah, Ibn Khaldun dan Al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan
secara gradual, dengan mencoba mencari masukan dari fiqh untuk menyempurnakan
bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah Al-Farabi yang mencoba menyusun
sebuah utopia berjudul “Negara utama”(Al-Madinah, Al-Fadhilah).
Ada tiga jenis negara
menurut mazhab Syafi’i, mazhab Islam yang dominan di Indonesia: dar
Islam (negara Islam), dar Harb (negara perang), dan dar
Sulf (negara damai). Menurut paham ini, negara Islam harus
dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan
fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama berlakunya
syariah Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau anti-Islam,
harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, dan
dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan syariah Islam
dari undang-undang negara. Negara damai harus dipertahankan, karena syariah
(dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh
kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang
negara (Wahid,1989:10).
Berdasarkan kategori tersebut
maka Indonesia bukan termasuk negara Islam, karena syariah tidak
dijadikan sebagai dasar negara. Indonesia dapat dikategorikan
sebagai dar Sulf (negara damai) sehingga harus dipertahankan
karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih
dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi
dalam bentuk undang-undang negara. Pada zaman Nabi Muhammad SAW dikenal juga
negara damai seperti negara Habsyi (Ethiopia) yang melindungi minoritas umat
Islam di dalamnya. Umat Islam di Ethiopia ini tidak dibebani dengan kewajiban
mendirikan negara Islam, paling tidak mereka mengikuti hukum agama yang
termaktub dalam fiqih. Dari uraian ini kita tahu bahwa jangkauan syariah dapat
bersifat sangat luas mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bidang ibadah
maupun bidang kehidupan duniawi (muammallah), disamping penerapan hudud
law. Sementara jangkauan syariah di Malaysia, suatu negara yang
berdasarkan Islam, tidak mencakup hudud law dan
pemberlakuannya ditunda. Sementara jangkauan syariah yang berlaku
di Indonesia identik dengan yang dijalankan minoritas umat Islam di
Ethiopia pada zamanNabi Muhammad SAW.
SUBORDINASI ISLAM TERHADAP NEGARA PANCASILA
Menurut Gus Dur pada garis besarnya, ada tiga macam responsi dalam hubungan
antara Islam dengan negara di Indonesia, yaitu responsi integratif,
responsi fakultatif, dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif,
Islam sama sekali dihilangkan kedudukan formalnya dan umat Islam tidak
menghubungkan ajaran agama dengan ursan negara. Hubungan antara kehidupannya
dengan negara ditentukan oleh pola hidup kemasyarakatan yang disepakati
bersama. Dengan kata lain, kalau mereka menjadi muslim yang sesuai dengan
standar, itu terjadi karena latar belakang pendidikan dan kultural masing-masing.
Sedangkan sikap
responsif fakultatif adalah jika kekuatan gerakan Islam cukup besar di parlemen
atau di MPR maka mereka akan berusaha membuat perundang-undangan yang sesuai
dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tidak memaksakan, melainkan
menerima aturan yang dianggap berbeda dari ajaran Islam. Sedangkan sifat
konfrontatif, sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap “tidak Islami”.
Gus Dur sejalan dengan organisasi afiliasinya NU mengambil bentuk yang
pertama. Mayoritas umat Islam Indonesia mendukung negara Pancasila dan hanya
sedikit yang menginginkan berdirinya negara Islam dan itupun dilakukan dengan
cara damai karena mereka tidak melawan otoritas pemegang kekuasaan negara
melainkan dengan membangun “masyarakat ideal” yang diyakini sebagai pelaksanaan
konsep negara dalam Islam. Konsep “masyarakat ideal” ini yang secara konsisten
dirumuskan oleh para pemikir Muslim modern sejak al-Afghani hingga Sayid Qutbdan al-Maududi (Wahid,1998:69).
1.
Landasan Menerima Negara Pancasila
Pilihan NU untuk menerima konsep negara bangsa didasarkan pada kenyataan
Indonesia sebagai negara pluralistik adalah sulit untuk mendirikan negara Islam
formal. Bila negara formal Islam dipaksakan maka akan melahirkan
kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat
pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan
sebagai penjamin martabat manusia (Wahid,1998:72).
Pertimbangan menerima konsep
negara bangsa juga didasarkan pada pertimbangan fiqh (hukum Islam). Memang
sudah seharusnya sebagai organisasi keagamaan, setiap langkah NU dilakukan
untuk mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Pilihan mensubordinasikan
hukum Islam pada negara didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang menjadi
pedoman NU berikut ini. Dalam mengantisipasi berbagai gejala sosial NU tidak
bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi
sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Jika kemampuan
hanya menghasilkan sebagian saja, maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan.
Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif
dan negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata dengan itu
berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi diri atau
orang lain. Jika ternyata hal itu harus menghadapi pilihan, langkah yang
diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya. Tradisi pemikiran
ini tidak berarti NU bersifat pesimis, menyerah sebelum bertanding, karena NU
juga melakukan jalb al-masalih (melaksanakan kewajiban), tidak
dalam kaitannya dengan aspek darurah (temporer) yang mungkin
akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) (Haidar,1998:6).
Keputusan mensubordinasikan
Islam pada negara bangsa didasarkan juga pada tradisi keilmuan yang dianut NU.
Tradisi keilmuan NU mempertautkan secara organis antara tauhid, fiqh dan tasauf
secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan
terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu
sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang
hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan
kedalam rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan
adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin,
sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan
intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah
kesejarahan tersendiri (Wahid, 1999c: 154-5).
Berdasarkan tradisi keilmuan ini, NU memandang persoalan kehidupan
(kemasyarakatan/ bernegara) yang tidak bercorak “hitam-putih”, karenanya
penerapan hukum Islam tidak mensyaratkan ditegakkannya negara Islam. Walaupun
umat Islam tidak dapat mendirikan negara Islam, tetapi itu tidak menghalangi
mereka melaksanakan hukum Islam karena perpautan kedua dimensi duniawi dan
ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada
kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk
kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan(Wahid, 1999c : 155).
2.
Negara condition sine qua non Mencegah
Anarkhi
Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah
sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya
ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang
dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan
tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya
perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan
negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif
sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah
membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan
perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah
akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuagamaan
yang dianut NU telah memberi legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan fatwa
“perang jihad” yang dikeluarkan Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy’ari pada
permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk negara baru RI (Wahid,1999c:156).
Bagi NU, siapa yang memegang pemerintahan tidak penting karena yang harus
dijaga adalah tetapnya negara. Prinsip adanya negara harus diterima terhadap
kenyataan tidak adanya negara (faudla) (Wahid, 2000b: 9). Karena tujuan
didirikannya negara adalah untuk mencegah anarkhi, dimana tertib sosial sebagai
prasyarat bagi tertib agama. Bahkan Imam Ghazali mengatakan seratus hari
pemerintahan yang otoriter adalah lebih baik dari pada keadaan anarkhis.
Dengan maksud mencegah anarkhi maka pada tahun 1936 Muktamar NU di
Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik, yang nantinya akan melandasi
sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia, yakni
mengklasifikasikan Indonesia yang sedang diperintah Hindia Belanda sebagai
negara Muslim (dar al-Islam). Hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan
mengenai status tanah Hindia Belanda yang sedang diperintah oleh para penguasa
non-Muslim Belanda, apakah harus dipertahankan dan dibela dari serangan luar.
Karena statusnya sebagai dar al-Islam maka wajib hukumnya
secara fiqih untuk membela dari serangan luar. Jawabannya diambil dari salah
satu kitab kuning yang berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya
Syaikh Hasan Al-Hadhrami, dikemukakan alasan pendapat berikut: negara ini
pernah mengenal adanhya kerajaan-kerajaan Islam; penduduknya masih menganut dan
melaksanakan ajaran Islam; dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan
diganggu atau diusik(Wahid,1989:9).
Justifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam (negeri
muslim), padahal dalam kenyataannya pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah
Hindia Belanda yang kafir, memiliki dua makna yang sangat penting dalam
kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam mensyaratkan
kebebasan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agamanya, sebagai condition
sine qua non bagi penerimaan Islam atas esksistensi negara tersebut,
dan dengan demikian memberikan tolak ukur yang jelas bagi kaum Muslimin dalam
kehidupannya. Di lain pihak, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan
bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi
politiknya ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan
kaum Muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, disamping
kesetiaan pada negara yang bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang
berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan
yang kuat (Wahid, 2004:1).
Selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragamanya secara penuh,
maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat perhatian. Pemikiran
seperti ini pula yang melandasi pandangan dasar kaum Al-ahlus sunnah wa
al-jama’ah, seperti penerimaan mereka atas Kekhalifahan Usmaniyah di Turki
atas seluruh dunia Islam, padahal mereka bukan dari suku Quraisy. (Menurut
pandangan klasik paham Sunni, kepemimpinan negara (imamah), termasuk
yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di tangan orang Quraisy, karena
adanya hadits tentang hal ini). Dengan kata lain, pemerintahan ditilik dan
dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya,
negara Islam atau bukan.
Dasar NU melegitimasi
keberadaan suatu negara didasarkan pada kesediaan negara memfasilitasi suatu
lembaga yang akan mengurus kepentingan hukum Islam. Pada zaman Hindia Belanda,
adanya lembaga kepenghuluan yang memungkinkan umat Islam menjalankan syariat
agama, walaupun bersifat sebagian, dan sangat terbatas, menjadi alasan adanya
celah kelembagaan yang dapat mengatur kehidupan syariat Islam dijalankan oleh
orang-orang Islam sendiri (Haidar, 1998: 95). Kebijakan yang serupa juga
dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Setelah Indonesia merdeka
dan menjadi negara Pancasila maka eksistensinya dilegitimasi oleh fiqih NU,
dengan konsekuensi Menteri Agama pertama KH A. Wachid Hasyim (1946-1956)
mensubordinasikan syariah (hukum agama) pada supremasi ideologi
Pancasila. Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat dari sudut
pandang agama adalah kewajiban utama, maka mempertahankan pemerintah oleh kaum
muslimin (Soekarno, Hatta, dan Syahrir) adalah kewajiban agama juga.
Ketentuan yang sama itu juga
yang membuat NU menolak kehadiran “NII” yang didirikan oleh Kartosuwiryo,
bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak)
yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara
RI menjadi waliyyul amri dharuri bissyaukah (pemegang
pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama
yang didominir ulama NU. Presiden RI diterima sebagai pemegang pemerintahan,
karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat
sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak dipilih oleh ulama yang
berkompeten untuk itu (halul halli wal aqdi), melainkan melalui proses
lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun
kekuasaannya harus tetap efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar
kekuasaannya itu, ia berwewenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui
pendelegasian wewenang itu kepada menteri agama (Wahid, 1999c: 156-164).
Pemikiran progresif KH A. Wachid Hasyim diteruskan dan
dikembangkan lebih jauh lagi oleh duet kepemimpinan KH Ahmad
Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang masing-masing terpilih
sebagai Rais `Am NU dan Ketua Umum PBNU NU dalam Mukhtamar NU ke-27
di Situbondo tahun 1984. Perlu diketahui KH Achmad Siddiq pernah menjadi
sekretaris pribadi Menteri Agama KH Wachid Hasyim; sedangkan Gus Dur mewarisi
pemikiran progressif ayahnya KH Wachid Hasyim. Kebijakan NU menyangkut
hubungan Islam dengan negara Pancasila cenderung bersifat pragmatis, mengikuti
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
mensikapi perkembangan tersebut NU hanya mendasarkan pada prinsip-prinsip fiqih
(hukum agama) seperti yang saya kemukakan di atas, terutama mencegah kerusakan
lebih diutamakan daripada menegakkan kewajiban agama. Karena itu NU tidak
memaksakan pendirian negara Islam, baik pada waktu menjelang kemerdekaan maupun
dalam sidang-sidang Dewan Konstituante (1957-1959); tetapi NU tidak pernah
berhenti berusaha di dalam usahanya memberikan penerangan agama supaya umat
siap menerima negara Islam. Bisa diibaratkan hubungan agama dan negara seperti
hubungan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Pesantren puas dengan
kedudukannya sebagai sub-kultur yang menjadi panutan bagi masyarakat di
sekitarnya; dan pihak masyarakat cukup mengakui peranan sentral ini. Pesantren
merumuskan produk-produk hukum agama yang tidak bersikap mengikat semua
masyarakat, dan pesantren memberi teladan pelaksanaan hukum-hukum agama di
dalam masyarakat tersebut.
Hubungan Islam dan negara
Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang
dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban
terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh
regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk
final perjuangan umat Islam di Indonesia. Akhirnya dengan kesadaran
NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi
pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak
kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya
akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga
negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan
Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan
perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan
sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur
mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam
dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar
dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang
lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72).
Gus Dur sejalan dengan Asghar Ali Engineer dalam papernya Islamic
State dan the Secular State. Tujuan berdirinya negara Islam sudah
penuhi oleh gagasan negara modern yang bersifat sekuler karena persamaan tujuan
antara negara sekuler dan negara Islam, yaitu sama-sama melindungi hak-hak
pribadi para warga negaranya, sedangkan masalah selainnya itu hanya bentuk luar
yang dapat saja diubah oleh rakyat melalui lembaga perwakilan (Wahid, 1999b :
22). Gus Dur juga sejalan dengan mantan Mahkamah Agung di Mesir, Muhammad Said
Al-Ashmawi, bahwa hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana
Mesir saat ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan syariah karena hukum itu
telah menampung dua hal penting dari syariah, yaitu unsur ketahanan (detterence)
dan hukumnya (punitive) (Wahid,2000b:7).
DUALISME HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PANCASILA
Gus Dur mengemukakan konsep dualisme legitimitas antara agama dan negara, yakni
negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam,
dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimasi pada
negara. Gus Dur dengan tegas menandaskan negara Pancasila tidak berkepentingan
dengan negara agama, dalam hal ini negara Islam. Karena itu negara Pancasila
tidak dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam (Wahid, 2000b: 11).
Komitmen umat Islam pada negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian
(muamalah), yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini
mempunyai dimensi ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian
itu sebagai bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan
semua urusan keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil
dan makmur.
Sebaliknya negara tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan agama. Karena itu
Gus Dur tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan suatu agama
sebagai agama resmi. Pemerintah Orde Baru hanya mengakui 5 agama resmi, yaitu
Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, disamping diakui juga aliran
kepercayaan kepada Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde Baru sudah terlalu
jauh memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan seperti ini jelas
sangat berbahaya bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu domba kekuatan di
dalam masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu lembaga keagamaan
bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi Islam dan PGI
(Persekuan Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi legitimasi oleh pemerintah
untuk menindas suatu cabang yang tumbuh dalam suatu agama maka kehancuran suatu
cabang itu berarti juga akan melemahkan kekuatan umat beragama itu secara
keseluruhan; lalu pemerintah akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol
umat beragama tersebut. Ketika muncul kasus Kong Hu Cu misalnya, Gus
Dur termasuk salah seorang yang menentang sikap pemerintah
yang terlampau jauh menggunakan otoritasnya sampai memasuki wilayah keyakinan
pemeluk agama. Pada waktu itu pemerintah, dalam hal ini catatan sipil, tidak
mau mengakui perkawinan dua warga Kong Hu Chu karena Kong Hu Chu bukanlah agama
yang diakui secara resmi negara.
Dalam pandangan Gus Dur, negara hendaknya hanya bertugas mengatur jalannya
kehidupan antar maupun inter umat beragama. Karenanya negara dituntut bersikap
adil dan tidak boleh berpihak kepada salah satu agama. Dalam pandangan Gus Dur,
pemerintah bertindak sebagai polisi lalulintas, yang mengatur jalannya lalu
lintas hubungan antara umat beragama. Dasar untuk mengatur hubungan itu adalah
dasar negara Pancasila. Negara tidak boleh memonopoli penafsiran Pancasila,
mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka, sebagai suatu kompromi
politik dari berbagai kekuatan, sehingga semua umat beragama diberi kebebasaan
untuk berpartisipasi dalam memaknai ideologi Pancasila. Gus Dur menyakini
demokrasi adalah nilai yang paling prinsip dalam Pancasila dan harus dijunjung
tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara maupun bermasyarakat. Termasuk persoalan ideologi. Pancasila sebagai
ideologi terbuka harus mengakomodasi semua ideologi/isme yang berkembang di
masyarakat, termasuk politik Islam (Wahid, 1991).
Dualisme hubungan agama dan negara sepintas nampak bersifat sekuler. Tapi jika
kita coba memahami lebih mendalam lagi, justru Gus Dur ingin mengembalikan
agama kepada keadaannya yang genuine dan autentik. Yaitu agama yang bersifat
memperibadi, sebagai tindakan privat yang lebih menekankan pada pencapaian
pengalaman spiritual. Keadaan seperti ini dapat dicapai jika agama terbebaskan
dari segala bentuk objektivikasi yang biasanya muncul dari wilayah publik. Bisa
jadi yang publik itu berasal dari habitat yang sama seperti organisasi
keagamaan, maupun dari wilayah publik lain seperti politik. Dalam konteks
kehidupan agama di Indonesia, realitas publik yang disebut terakhir patut
memperoleh perhatian mengingat daya penetrasinya yang kuat, terutama ketika
dalam suatu epoch politik menjadi sesuatu yang paling dominan. Apa pun wilayah
politiknya, baik yang ada dalam lingkup negara maupun masyarakat, resistensi
agama seringkali kurang begitu kokoh dalam menghadapi praktek manipulasi,
seperti kecenderungan mengatasnamakan tindakan politik tertentu dengan simbol
agama.
Gus Dur sangat menyadari kalau agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena
agama merupakan sumber nilai. Apalagi Islam sebagai agama hukum sangat
berkepentingan untuk menundukkan semua persoalan kepada syariah (hukum agama).
Oleh karena itu, agar politik dapat memberikan kemaslahatan kepada publik maka
agama perlu diperankan, bukan dalam wujudnya yang bersifat formalistik,
melainkan yang substantif dalam pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian
dasar-dasar etik dan moral terhadap seluruh proses politik.
Ini berarti jalannya pemerintahan tidak lalu terlepas sama sekali dari kendali
keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijakan pemerintah
senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqih, sehingga sikap itu
sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan di
kala melaksanakan wewenangnya. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya
pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur
sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijakan kepada pemerintahan harus mengikuti
kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah)
(Wahid,1999c:159).
5.Simpulan
Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan karena dalam Al-Qur’an tidak ada
doktrin, Nabi Muhammad SAW tidak bersifat politis tapi moralis, Nabi tidak
merumuskan mekanisme suksesi, dan sesuai dengan pendekatan universal bahwa misi
kenabian bukan untuk mendirikan negara tapi membentuk kemanusiaan manusia, dan
bentuk negara itu bervariasi. Karena itu umat Islam di Indonesia menerima
Negara Pancasila berdasarkan pertimbangan: (1) Sebagai negara pluralistik maka
bila negara formal Islam dipaksakan akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence)
yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak
terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia;
(2) Kaidah-kaidah hukum NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban
untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan
memperhatikan berbagai faktor lain. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban
diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu; (3) Tradisi keilmuan NU
mempertautkan dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU
percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba
kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan
kedalam rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan
adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin.
Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984
dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini
dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi partai politik
Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa
negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Dengan
kesadaran NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi
pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak
kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya
akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga
negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan
Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan
perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan
sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur
mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam
dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar
dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain
dan kepribadian global.