Tanggal
21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini. Ya, R.A Kartini, pahlawan
nasional yang memperjuangkan emansipasi wanita dan kesetaraan gender. Dalam
buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht), Kartini berjuang
agar wanita mendapatkan persamaan hak dalam berbagai ranah kehidupan, khususnya
pendidikan dan harus tetap menjunjung tinggi kodrat kewanitaannya.
Dan
kini, entah siapa yang memulai dulu, Hari Kartini selalu diperingati dengan
simbol-simbol kewanitaan, seperti pakaian baju daerah, parade baju daerah,
lomba memasak, lomba busana, lomba merias. Hari Kartini hampir identik dengan
pakaian daerah. Apalagi di sekolah-sekolah, dan kini merambah di perkantoran.
Peringatan Hari Kartini hanya terbatas pada seremoni, tanpa menyentuh aspek
substansi tentang makna emansipasi wanita.
Peringatan
Hari Kartini yang sudah turun-temurun seperti sekarang, tentu boleh-boleh saja.
Tidak ada yang melarang. Sayangnya, peringatan Hari Kartini yang ada sekarang
hanya mempertegas sifat-sifat kewanitaan semata. Pakaian adat, lomba masak,
lomba busana, tanpa ada Hari Kartini juga sudah menjadi ciri khas seorang
wanita. Bukankah perayaan yang semacam ini malah menunjukkan wanita bersifat
diskriminatif ? Jadi, bagaimana kaum pria harus merayakan Hari Kartini?
Lalu
bagaimana kita memaknai Hari Kartini ? Sederhana saja, setia p kita, baik
wanita maupun pria patut memperingtai Hari Kartini sebagai momentum untuk
melakukan introspeksi diri agar tetap tumbuh, dari posisi hari ini menjadi
lebih baik lagi di masa datang. Apa yang masih gelap dalam diri kita hari ini
harus mampu kita ubah menjadi terang di hari esok dan masa datang. Di era sekarang,
jangan ada lagi kegelapan dalam diri, dalam bentuk nafsu, kesombongan,
arogansi, bahkan ego. Kita semua sebagai pribadi, boleh punya pendidikan
tinggi, status sosial hebat, pekerjaan mentereng, namun di saat yang sama, kita
masih memiliki sifat, sikap, dan perilaku yang gelap. Dan semua itu hanya kita
yang tahu …! Maukah kita mengubahnya menjadi terang ?
Jadi,
makna Hari Kartini saat ini adalahmembangun KECERDASAN pada diri kita sendiri,
wanita dan pria harus CERDAS.
- Cerdas dalam belajar agar terbebas dari kebodohan
- Cerdas dalam bekerja agar terbebas dari kemiskinan
- Cerdas dalam beribadah agar terbebas dari kesesatan
- Cerdas dalam bergaul agar terbebas dari keterkungkungan
- Dan Cerdas dalam HIDUP agar berguna di DUNIA dan AKHIRAT
- Cerdas dalam belajar agar terbebas dari kebodohan
- Cerdas dalam bekerja agar terbebas dari kemiskinan
- Cerdas dalam beribadah agar terbebas dari kesesatan
- Cerdas dalam bergaul agar terbebas dari keterkungkungan
- Dan Cerdas dalam HIDUP agar berguna di DUNIA dan AKHIRAT
”Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya (door duisternis Tot Licht). Namun cahaya itu belum purna menyinarinya secara terang benderang, karena terhalang oleh tabir tradisi dan usaha westernisasi. Kartini telah kembali kepada Pemiliknya, sebelum ia menuntaskan usahanya untuk mempelajari Islam dan mengamalkannya, seperti yang diidam-idamkannya: Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Sosok Kartini bahkan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk kampanye emansipasi yang menyalahi fitrah wanita, yakni mendorong kaum wanita agar diperlakukan sederajat dengan kaum pria, diperlakukan sama dengan pria, padahal kodrat pria dan wanita berbeda, demikian pula peran dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.
Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi. Sementara Kartini sendiri sesungguhnya makin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya.
Perjalanan Kartini adalah perjalanan panjang. Dan dia belum sampai pada tujuannya. Jangan salahkan Kartini kalau dia tidak sepenuhnya dapat lepas dari kungkungan adatnya. Jangan salahkan Kartini kalau dia tidak dapat lepas dari pengaruh pendidikan Baratnya.Kartini sudah berusaha untuk mendobraknya.
Yang kita salahkan adalah mereka yang menyalah-arti-kan kemauan Kartini. Kartini tidak dapat diartikan lain kecuali sesuai dengan apa yang tersirat dalam kumpulan suratnya :“Door Duisternis Tot Licht” yang telanjur diartikan sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Prof. Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) mengartikan kalimat “Door Duisternis Tot Licht” sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya” yang bahasa Arabnya adalah “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“. Kata dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyah) ke tempat yang terang benderang (hidayah atau kebenaran Ilahi), sebagaimana firman-Nya:
”Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpinnya adalah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya” (QS. Al-Baqarah : 257).
Kartini yang dikungkung oleh adat dan dituntun oleh Barat, telah mencoba merintis jalan menuju benderang kebenaran Ilahi. Tapi anehnya, tak seorang pun melanjutkan perjuangannya. Wanita-wanita kini mengurai kembali benang yang telah dipintal Kartini. Sungguhpun mereka merayakan hari lahirnya, namun mereka mengecilkan arti perjuangannya.
Gagasan-gagasan cemerlang Kartini yang dirumuskan dalam kamar yang sepi, mereka peringati di atas panggung yang bingar. Kecaman Kartini yang teramat pedas terhadap Barat, mereka artikan sebagai isyarat untuk mengikuti wanita-wanita Barat habis-habisan.
Kartini merupakan salah satu contoh figur sejarah yang lelah menghadapi pertarungan ideologi. Ia berusaha mendobrak adat, mengelak dari Barat, untuk mengubah keadaan. Dalam sebuah suratnya Kartini mengatakan: ”Manusia itu berusaha, Allah-lah yang menentukan” (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900).
Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah:193, berupaya untuk memperbaiki citra Islam selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan: “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
Benarkah R.A Kartini Pencetus Emansipasi Wanita?
Emansipasi, itulah yang sering disandingkan oleh banyak oknum mengenai sosok Kartini.Benarkah hal ini? Lantas wujud emansipasi semacam apa yang sebenarnya disampaikanKartini? sehingga orang identik menyebutnya sebagai salah satu pencetus emansipasi bagi wanita? Surat Kartini-lah yang akan menjawabnya, di sini;
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].
Inilah gagasan Kartini yang sebenarnya, namun kenyataannya sering diartikan secara sempit dengan satu kata: emansipasi. Sehingga setiap orang bebas mengartikan semaunya sendiri.
Pada dasarnya, Kartini ingin berjuang di jalan Islam. Tapi karena pemahamannya tentang Islam belum menyeluruh, maka Kartini tidak mengetahui panjangnya jalan yang akan ditempuh dan bagaimana cara berjalan di atasnya.
Namun Kartini berjuang seorang diri, dengan segala keterbatasan. Ali bin Abi Thalib menegaskan: ”Kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”. Wallahu’alam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar