Jumat, 03 Oktober 2014

Dasar Pemikiran Islam

Dasar Pemikiran Islam 

Mengetahui para pemikiran Islam baik dari dalam negeri maupun luar negeri sangat penting karena mayoritas (87%) penduduk Indonesia beragama Islam. Memang banyak ilmuwan sosial politik meramalkan peranan agama akan mengalami penurunan sejalan dengan laju modernisasi dan bahkan mereka memandang agama menjadi faktor negatif dalam modernisasi. Akan tetapi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam kita masih melihat peranan agama yang begitu dominan di dalam kehidupan.
         Wajah yang terlihat jelas dari peranan Islam bagi pemeluknya adalah dalam bidang politik. Banyak ilmuwan dan awam baik Muslim maupun non-Muslim melihat image Islam sebagai agama yang berkelindan dengan politik. Memang sejarah awal perkembangan Islam menunjukkan wajah politik, dimana umat Islam harus berperang melawan kekuatan politik lainnya. Untung berpihak pada umat Islam dan Islam berhasil menyebarkan dari Spanyol di barat sampai India di sebelah timur hanya dua abad mengikuti kelahirannya.
Sekarang pun masih cukup banyak umat Islam yang ingin menampilkan wajah  politik Islam yang monoton untuk menghadapi kekuatan politik lainnya, terutama Barat yang diasumsikan sebagai pendukung kekuatan Kristen dan Yahudi. Mereka berkeyakinan kalau Yahudi dan Kristen tidak mau mengakui keberadaan umat Islam sebagaimana terjadi di awal sejarah Islam dan ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS 2 Al-Baqarah: 120). Sebaliknya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meyakini kalau ayat itu disampaikan khusus kepada Nabi Muhammad SAW di Madinah ketika menghadapi kelompok-kelompok kaum Yahudi dan Nasrani yang sikapnya militan. Masalah pokok dari pengkhianatan kaum Yahudi terhadap Piagam Madinah, karenanya, bukan bermotivasi keagamaan, namun lebih karena persoalan kompetisi politik; dan Nabi melawan mereka tidak didorong oleh kepercayaan agama tetapi oleh pertimbangan-pertimbangan politis. Gus Dur tidak ingin menampilkan politik Islam yang monoton dan melihat Piagam Madinah sebagai justifikasi bagi manifestasi politik Islam yang inklusif, yaitu politik Islam yang menekankan pada nilai-nilai substansial Islam yang universal seperti keadilan, persamaan, kebebasan, dan syura’ (demokrasi). Gus Dur sangat kritis terhadap bentuk formal dan simbol-simbol politik Islam yang seringkali diperankan mengingkari substansi dari nilai-nilai Islam tersebut. Dia berkeyakinan nilai-nilai universal Islam selaras dengan nilai-nilai Hak-hak Asami Manusia (HAM) dalam Deklarasi Hak-Hak Asami Manusia tahun 1948 sehingga dia melihat Barat bukan sebagai musuh tetapi sebagai mitra. Namun dia perlu mengembangkan konsep HAM dari lingkungan umat Islam sendiri untuk menangkal proses sekulerisasi seperti yang terjadi dalam peradaban Barat.
            Artikel ini ingin lebih jauh menganalisa pemikiran Gus Dur untuk menempatkan Islam dalam konteks modern, terutama berkaitan dengan konsep negara Pancasila di Indonesia. Sejauh mana pemikiran Gus Dur mendapatkan justifikasi dalam pemikiran fiqih (hukum Islam) NU. Artikel dibagi beberapa sub-bab yang menjelaskan Islam tidak punya konsep negara, pentingnya negara untuk mencegah anarkhi, alasan-alasan subordinasi Islam pada negara Pancasila, dan hubungan
Islam dengan Pancasila.   
TIDAK ADA KONSEP NEGARA ISLAM
Interaksi Islam dan politik mengalami pasang surut. Islam bermula dari suatu komunitas umat di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW. Kemudian umat Islam berhasil memperoleh kekuasaan politik dengan membentuk suatu negara dalam bimbingan langsung Nabi. Nabi tidak menyebutnya sebagai negara Islam, sedangkan dasar pendirian negara adalah Konstitusi Madinah, suatu piagam yang dibuat oleh Nabi Muhammad dan disaksikan oleh berbagai kelompok dalam suatu masyarakat yang plural, sebagai rambu-rambu untuk mengatur suatu masyarakat yang plural itu dan mereka secara bersama-sama akan mengahadapi segala ancaman dari luar. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka negara dipimpin oleh seorang khalifah (pengganti Nabi) dan kemudian umat Islam menyebut sistem pemerintahan kekhalifahan. Umat Islam masih memiliki satu negara yang utuh pada masa Khulafaur Rasyidin, namun pada masa berikutnya kekhalifahan tidak lagi tunggal. Bahkan sistem kekhalifahan dihapus pada tahun 1924 ketika kekhalifahan Turki Utsmani diganti menjadi negara modern. Dan sejak itu berdirilah beberapa negara bangsa di daerah yang mayoritas penduduknya umat Islam. Beberapa diantaranya mengatasnamakan sebagai negara Islam walaupun masing-masing memiliki bentuk negara maupun pemerintahan yang berbeda dan mungkin malah saling bertentangan.
Umat Islam di suatu daerah tertentu memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk bersama-sama merumuskan bentuk sistem sosial yang tepat bagi penerapan nilai nilai Islam. Demikian juga dengan bentuk negara hendaknya dimusyawarahkan oleh sekelompok umat Islam yang berdomisili di suatu daerah tertentu. Dalam kasus minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak dibebani dan memang tidak mungkin bagi mereka mendirikan negara Islam (2000b: 56). Bentuk negara Islam yang ada merupakan hasil ijtihad yang mencari legitimasi pada Islam, dan Gus Dur tidak menentang keberadaan negara yang mengatasnamakan Islam.
Di Indonesia, umat Islam tidak mendirikan negara Islam tetapi negara bangsa yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan negara sekuler karena Pancasila mengakui adanya Tuhan Yang Esa, disamping adanya suatu kementerian/lembaga yang mengurusi kepentingan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Keberadaan negara Pancasila dilegitimasi oleh hukum fiqih NU dan diakui eksistensinya selama negara masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada.
Penerimaan bentuk final negara Pancasila didasarkan pada keyakinan Gus Dur kalau Islam tidak punya konsep negara Islam. Dia mengikuti argumen Ali Abdel Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id al-Sulthanan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur’an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya (Wahid, 2000a: 1). Tidak adanya konsep negara dalam Islam karena sesuai dengan pendekatan universalitas agama Islam itu sendiri.
a)    Maka Bijaksana Allah yang tidak menentukan (secara qath’i) sistem kenegaraan. Karena Maha Mengetahui-Nya, bentuk negara di jagad raya ini bervariasi; sesuai dengan letak geografi dan demografi masing-masing kawasan.
b)    Tugas para Nabi dan Rasul tidak untuk membentuk negara, tetapi membentuk kemanusiaan manusia; memberi pribadi manusia dan membentuk watak manusia. Hadits: “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan duniamu)”. Meskipun demikian, dasar-dasar pengelolaan negara –jika diinginkan stabil- telah diletakkan sedemikian rupa, dengan signifikan. Dua sisi kecenderungan sebuah negara disiratkan dengan firman Allah: “Wa syaawirhum fil amr” (QS Al-Imran 159), bagi negara monarkhi dan “Wa amruhum syuura bainahum”, bagi negara demokrasi (Bisri, 2000:viii-ix)
Memang sangat ideal bila kita dapat mendirikan negara Islam. Namun caranya harus secara evolusioner agar tidak terjadi kekerasan atas nama Islam. Pemikiran para teoritisi politik terkenal dalam Islam tidaklah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan. Ibn Abi Ruba’i, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan Al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencari masukan dari fiqh untuk menyempurnakan bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah Al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah utopia berjudul “Negara utama”(Al-Madinah, Al-Fadhilah).
Ada tiga jenis negara menurut mazhab Syafi’i, mazhab Islam yang dominan di Indonesia: dar Islam (negara Islam), dar Harb (negara perang), dan dar Sulf (negara damai). Menurut paham ini, negara Islam harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama berlakunya syariah Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau anti-Islam, harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan syariah Islam dari undang-undang negara. Negara damai harus dipertahankan, karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara (Wahid,1989:10).
Berdasarkan kategori tersebut maka Indonesia bukan termasuk negara Islam, karena syariah tidak dijadikan sebagai dasar negara. Indonesia dapat dikategorikan sebagai dar Sulf (negara damai) sehingga harus dipertahankan karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Pada zaman Nabi Muhammad SAW dikenal juga negara damai seperti negara Habsyi (Ethiopia) yang melindungi minoritas umat Islam di dalamnya. Umat Islam di Ethiopia ini tidak dibebani dengan kewajiban mendirikan negara Islam, paling tidak mereka mengikuti hukum agama yang termaktub dalam fiqih. Dari uraian ini kita tahu bahwa jangkauan syariah dapat bersifat sangat luas mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bidang ibadah maupun bidang kehidupan duniawi (muammallah), disamping penerapan hudud law. Sementara jangkauan syariah di Malaysia, suatu negara yang berdasarkan Islam, tidak mencakup hudud law dan pemberlakuannya ditunda. Sementara jangkauan syariah yang berlaku di Indonesia identik dengan yang dijalankan minoritas umat Islam di Ethiopia pada zamanNabi Muhammad SAW.
SUBORDINASI ISLAM TERHADAP NEGARA PANCASILA
Menurut Gus Dur pada garis besarnya, ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara di Indonesia, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif, dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali dihilangkan kedudukan formalnya dan umat Islam tidak menghubungkan ajaran agama dengan ursan negara. Hubungan antara kehidupannya dengan negara ditentukan oleh pola hidup kemasyarakatan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, kalau mereka menjadi muslim yang sesuai dengan standar, itu terjadi karena latar
belakang pendidikan dan kultural masing-masing.
 Sedangkan sikap responsif fakultatif adalah jika kekuatan gerakan Islam cukup besar di parlemen atau di MPR maka mereka akan berusaha membuat perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tidak memaksakan, melainkan menerima aturan yang dianggap berbeda dari ajaran Islam. Sedangkan sifat konfrontatif, sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap “tidak Islami”.
         Gus Dur sejalan dengan organisasi afiliasinya NU mengambil bentuk yang pertama. Mayoritas umat Islam Indonesia mendukung negara Pancasila dan hanya sedikit yang menginginkan berdirinya negara Islam dan itupun dilakukan dengan cara damai karena mereka tidak melawan otoritas pemegang kekuasaan negara melainkan dengan membangun “masyarakat ideal” yang diyakini sebagai pelaksanaan konsep negara dalam Islam. Konsep “masyarakat ideal” ini yang secara konsisten dirumuskan oleh para pemikir Muslim modern sejak al-Afghani hingga Sayid Qutbdan al-Maududi (Wahid,1998:69).
1.    Landasan Menerima Negara Pancasila
Pilihan NU untuk menerima konsep negara bangsa didasarkan pada kenyataan Indonesia sebagai negara pluralistik adalah sulit untuk mendirikan negara Islam formal. Bila negara formal Islam dipaksakan maka akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia (Wahid,1998:72).
Pertimbangan menerima konsep negara bangsa juga didasarkan pada pertimbangan fiqh (hukum Islam). Memang sudah seharusnya sebagai organisasi keagamaan, setiap langkah NU dilakukan untuk mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Pilihan mensubordinasikan hukum Islam pada negara didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang menjadi pedoman NU berikut ini. Dalam mengantisipasi berbagai gejala sosial NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja, maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata dengan itu berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi diri atau orang lain. Jika ternyata hal itu harus menghadapi pilihan, langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya. Tradisi pemikiran ini tidak berarti NU bersifat pesimis, menyerah sebelum bertanding, karena NU juga melakukan jalb al-masalih (melaksanakan kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temporer) yang mungkin akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) (Haidar,1998:6).
Keputusan mensubordinasikan Islam pada negara bangsa didasarkan juga pada tradisi keilmuan yang dianut NU. Tradisi keilmuan NU mempertautkan secara organis antara tauhid, fiqh dan tasauf secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan kedalam  rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah kesejarahan tersendiri (Wahid, 1999c: 154-5).
Berdasarkan tradisi keilmuan ini, NU memandang persoalan kehidupan (kemasyarakatan/ bernegara) yang tidak bercorak “hitam-putih”, karenanya penerapan hukum Islam tidak mensyaratkan ditegakkannya negara Islam. Walaupun umat Islam tidak dapat mendirikan negara Islam, tetapi itu tidak menghalangi mereka melaksanakan hukum Islam karena perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan(Wahid,
1999c : 155).
2.    Negara condition sine qua non Mencegah Anarkhi
Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuagamaan yang dianut NU telah memberi legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan fatwa “perang jihad” yang dikeluarkan Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy’ari pada permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk negara baru RI (Wahid,1999c:156).
Bagi NU, siapa yang memegang pemerintahan tidak penting karena yang harus dijaga adalah tetapnya negara. Prinsip adanya negara harus diterima terhadap kenyataan tidak adanya negara (faudla) (Wahid, 2000b: 9). Karena tujuan didirikannya negara adalah untuk mencegah anarkhi, dimana tertib sosial sebagai prasyarat bagi tertib agama. Bahkan Imam Ghazali mengatakan seratus hari pemerintahan yang otoriter adalah lebih baik dari pada keadaan anarkhis.
Dengan maksud mencegah anarkhi maka pada tahun 1936 Muktamar NU di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik, yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia, yakni mengklasifikasikan Indonesia yang sedang diperintah Hindia Belanda sebagai negara Muslim (dar al-Islam). Hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai status tanah Hindia Belanda yang sedang diperintah oleh para penguasa non-Muslim Belanda, apakah harus dipertahankan dan dibela dari serangan luar. Karena statusnya sebagai dar al-Islam maka wajib hukumnya secara fiqih untuk membela dari serangan luar. Jawabannya diambil dari salah satu kitab kuning yang berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Hasan Al-Hadhrami, dikemukakan alasan pendapat berikut: negara ini pernah mengenal adanhya kerajaan-kerajaan Islam; penduduknya masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam; dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik(Wahid,1989:9).
Justifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam  (negeri muslim), padahal dalam kenyataannya pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belanda yang kafir, memiliki dua makna yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agamanya, sebagai condition sine qua non bagi penerimaan Islam atas esksistensi negara tersebut, dan dengan demikian memberikan tolak ukur yang jelas bagi kaum Muslimin dalam kehidupannya. Di lain pihak, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politiknya ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum Muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, disamping kesetiaan pada negara yang bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan yang kuat (Wahid, 2004:1).
Selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragamanya secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat perhatian. Pemikiran seperti ini pula yang melandasi pandangan dasar kaum Al-ahlus sunnah wa al-jama’ah, seperti penerimaan mereka atas Kekhalifahan Usmaniyah di Turki atas seluruh dunia Islam, padahal mereka bukan dari suku Quraisy. (Menurut pandangan klasik paham Sunni, kepemimpinan negara (imamah), termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di tangan orang Quraisy, karena adanya hadits tentang hal ini). Dengan kata lain, pemerintahan ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya, negara Islam atau bukan.
Dasar NU melegitimasi keberadaan suatu negara didasarkan pada kesediaan negara memfasilitasi suatu lembaga yang akan mengurus kepentingan hukum Islam. Pada zaman Hindia Belanda, adanya lembaga kepenghuluan yang memungkinkan umat Islam menjalankan syariat agama, walaupun bersifat sebagian, dan sangat terbatas, menjadi alasan adanya celah kelembagaan yang dapat mengatur kehidupan syariat Islam dijalankan oleh orang-orang Islam sendiri (Haidar, 1998: 95). Kebijakan yang serupa juga dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Setelah Indonesia merdeka dan menjadi negara Pancasila maka eksistensinya dilegitimasi oleh fiqih NU, dengan konsekuensi Menteri Agama pertama KH A. Wachid Hasyim (1946-1956) mensubordinasikan syariah (hukum agama) pada supremasi ideologi Pancasila. Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat dari sudut pandang agama adalah kewajiban utama, maka mempertahankan pemerintah oleh kaum muslimin (Soekarno, Hatta, dan Syahrir) adalah kewajiban agama juga.
Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU menolak kehadiran “NII” yang didirikan oleh Kartosuwiryo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara RI menjadi waliyyul amri dharuri bissyaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU. Presiden RI diterima sebagai pemegang pemerintahan, karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (halul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun kekuasaannya harus tetap efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaannya itu, ia berwewenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang itu kepada menteri agama (Wahid, 1999c: 156-164).
Pemikiran progresif KH A. Wachid Hasyim diteruskan dan dikembangkan lebih jauh lagi oleh duet kepemimpinan KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang masing-masing terpilih sebagai Rais `Am NU dan Ketua Umum PBNU NU dalam Mukhtamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Perlu diketahui KH Achmad Siddiq pernah menjadi sekretaris pribadi Menteri Agama KH Wachid Hasyim; sedangkan Gus Dur mewarisi pemikiran progressif ayahnya KH Wachid Hasyim. Kebijakan NU menyangkut hubungan Islam dengan negara Pancasila cenderung bersifat pragmatis, mengikuti perkembangan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam mensikapi perkembangan tersebut NU hanya mendasarkan pada prinsip-prinsip fiqih (hukum agama) seperti yang saya kemukakan di atas, terutama mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menegakkan kewajiban agama. Karena itu NU tidak memaksakan pendirian negara Islam, baik pada waktu menjelang kemerdekaan maupun dalam sidang-sidang Dewan Konstituante (1957-1959); tetapi NU tidak pernah berhenti berusaha di dalam usahanya memberikan penerangan agama supaya umat siap menerima negara Islam. Bisa diibaratkan hubungan agama dan negara seperti hubungan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Pesantren puas dengan kedudukannya sebagai sub-kultur yang menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya; dan pihak masyarakat cukup mengakui peranan sentral ini. Pesantren merumuskan produk-produk hukum agama yang tidak bersikap mengikat semua masyarakat, dan pesantren memberi teladan pelaksanaan hukum-hukum agama di dalam masyarakat
tersebut.
Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Akhirnya dengan kesadaran NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72).
Gus Dur sejalan dengan Asghar Ali Engineer dalam papernya Islamic State dan the Secular State. Tujuan berdirinya negara Islam sudah penuhi oleh gagasan negara modern yang bersifat sekuler karena persamaan tujuan antara negara sekuler dan negara Islam, yaitu sama-sama melindungi hak-hak pribadi para warga negaranya, sedangkan masalah selainnya itu hanya bentuk luar yang dapat saja diubah oleh rakyat melalui lembaga perwakilan (Wahid, 1999b : 22). Gus Dur juga sejalan dengan mantan Mahkamah Agung di Mesir, Muhammad Said Al-Ashmawi, bahwa hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana Mesir saat ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan syariah karena hukum itu telah menampung dua hal penting dari syariah, yaitu unsur ketahanan (detterence) dan hukumnya (punitive) (Wahid,2000b:7).
DUALISME HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PANCASILA
Gus Dur mengemukakan konsep dualisme legitimitas antara agama dan negara, yakni negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimasi pada negara. Gus Dur dengan tegas menandaskan negara Pancasila tidak berkepentingan dengan negara agama, dalam hal ini negara Islam. Karena itu negara Pancasila tidak dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam (Wahid, 2000b: 11). Komitmen umat Islam pada negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian (muamalah), yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini mempunyai dimensi ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian itu sebagai bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan semua urusan keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Sebaliknya negara tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan agama. Karena itu Gus Dur tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan suatu agama sebagai agama resmi. Pemerintah Orde Baru hanya mengakui 5 agama resmi, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, disamping diakui juga aliran kepercayaan kepada Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde Baru sudah terlalu jauh memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan seperti ini jelas sangat berbahaya bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu domba kekuatan di dalam masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu lembaga keagamaan bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi Islam dan PGI (Persekuan Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi legitimasi oleh pemerintah untuk menindas suatu cabang yang tumbuh dalam suatu agama maka kehancuran suatu cabang itu berarti juga akan melemahkan kekuatan umat beragama itu secara keseluruhan; lalu pemerintah akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol umat beragama tersebut. Ketika muncul kasus Kong Hu Cu misalnya, Gus Dur   termasuk salah seorang yang menentang sikap pemerintah yang terlampau jauh menggunakan otoritasnya sampai memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Pada waktu itu pemerintah, dalam hal ini catatan sipil, tidak mau mengakui perkawinan dua warga Kong Hu Chu karena Kong Hu Chu bukanlah agama yang diakui secara resmi negara.
Dalam pandangan Gus Dur, negara hendaknya hanya bertugas mengatur jalannya kehidupan antar maupun inter umat beragama. Karenanya negara dituntut bersikap adil dan tidak boleh berpihak kepada salah satu agama. Dalam pandangan Gus Dur, pemerintah bertindak sebagai polisi lalulintas, yang mengatur jalannya lalu lintas hubungan antara umat beragama. Dasar untuk mengatur hubungan itu adalah dasar negara Pancasila. Negara tidak boleh memonopoli penafsiran Pancasila, mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka, sebagai suatu kompromi politik dari berbagai kekuatan, sehingga semua umat beragama diberi kebebasaan untuk berpartisipasi dalam memaknai ideologi Pancasila. Gus Dur menyakini demokrasi adalah nilai yang paling prinsip dalam Pancasila dan harus dijunjung tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. Termasuk persoalan ideologi. Pancasila sebagai ideologi terbuka harus mengakomodasi semua ideologi/isme yang berkembang di masyarakat, termasuk politik Islam (Wahid, 1991).
Dualisme hubungan agama dan negara sepintas nampak bersifat sekuler. Tapi jika kita coba memahami lebih mendalam lagi, justru Gus Dur ingin mengembalikan agama kepada keadaannya yang genuine dan autentik. Yaitu agama yang bersifat memperibadi, sebagai tindakan privat yang lebih menekankan pada pencapaian pengalaman spiritual. Keadaan seperti ini dapat dicapai jika agama terbebaskan dari segala bentuk objektivikasi yang biasanya muncul dari wilayah publik. Bisa jadi yang publik itu berasal dari habitat yang sama seperti organisasi keagamaan, maupun dari wilayah publik lain seperti politik. Dalam konteks kehidupan agama di Indonesia, realitas publik yang disebut terakhir patut memperoleh perhatian mengingat daya penetrasinya yang kuat, terutama ketika dalam suatu epoch politik menjadi sesuatu yang paling dominan. Apa pun wilayah politiknya, baik yang ada dalam lingkup negara maupun masyarakat, resistensi agama seringkali kurang begitu kokoh dalam menghadapi praktek manipulasi, seperti kecenderungan mengatasnamakan tindakan politik tertentu dengan simbol agama.
Gus Dur sangat menyadari kalau agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama merupakan sumber nilai. Apalagi Islam sebagai agama hukum sangat berkepentingan untuk menundukkan semua persoalan kepada syariah (hukum agama). Oleh karena itu, agar politik dapat memberikan kemaslahatan kepada publik maka agama perlu diperankan, bukan dalam wujudnya yang bersifat formalistik, melainkan yang substantif dalam pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian dasar-dasar etik dan moral terhadap seluruh proses politik.
Ini berarti jalannya pemerintahan tidak lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijakan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqih, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan di kala melaksanakan wewenangnya. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijakan kepada pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah) (Wahid,1999c:159).

5.Simpulan
Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan karena dalam Al-Qur’an tidak ada doktrin, Nabi Muhammad SAW tidak bersifat politis tapi moralis, Nabi tidak merumuskan mekanisme suksesi, dan sesuai dengan pendekatan universal bahwa misi kenabian bukan untuk mendirikan negara tapi membentuk kemanusiaan manusia, dan bentuk negara itu bervariasi. Karena itu umat Islam di Indonesia menerima Negara Pancasila berdasarkan pertimbangan: (1) Sebagai negara pluralistik maka bila negara formal Islam dipaksakan akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia; (2)  Kaidah-kaidah hukum NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu; (3) Tradisi keilmuan NU mempertautkan dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan kedalam  rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin.
Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Dengan kesadaran NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global.

Hakikat dan Makna Wukuf di Arafah

Hari itu jutaan jamaah haji berkumpul di Arafah untuk melaksanakan salah satu rukun haji yaitu wukuf di arafah. Bersamaan dengan itu.seluruh umat islam di dunia disunnahkan untuk melakukan puasa arafah yang jatuh pada tanggal 9 dzulhijjah . Mudah-mudahan seluruh jamaah haji diberikan kekuatan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji ini termasuk wukuf di arafah.
Sebenarnya apa sih makna wukuf di arafah? Boleh dikata wukuf di arafah merupakan miniatur padang mahsyar dimana seluruh umat manusia akan dibangkitkan dari kematian dan berkumpul di suatu tempat yang disebut padang mahsyar. Manusia harus mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan dihadapan Allah swt. Padang mahsyar diperkirakan panasnya luar biasahanya manusia yang banyak amal ibadahnya saja .yang mampu merasakan kesejukan di tengah panasnya padang mahsyar. Selebihnya akan merasakan panasnya terik matahari yang hanya sejengkal tingginya .dengan rasa panas yang luar biasa. Ini karena selama hidup di dunia banyak manusia yang melakukan dosa dan perbuatan buruk lainnya.
Wukuf di arafah seolah mengingatkan kita semua akan hari kebangkitan itu. Sudah selayaknyalah manusia mempersiapkan hari pembalasan itu. Dimana setiap manusia akan dihisap secara adil oleh Tuhan yang Maha Adil. Tidak ada sedikitpun kesalahan dalam hisap nanti. Keadilan betul-betul ditegakkan. Disanahukum tidak bisa dibeli oleh siapapun ataupun mafia lainnya. Barangsiapa berbuat kejahatan walaupun seberat atommaka dia akan mendapatkan balasannya. Begitu pula bila berbuat baik walaupun hanya sebesar atommaka diapun akan mendapat balasan.
Sojangan pernah bersedih ketika kita sudah berbuat baik di dunia initernyata tidak dihargai oleh orang lain.karena Allah Maha Melihat dan Maha Adil. Besok di akhirat akan dibalas dengan pahala yang setimpalasal perbuatan baik itu bener-benar dilakukan dengan ikhlash..hanya mengharap ridho Allah swt.
Maka..di Arafahlahjamaah haji digembleng dengan panasnya terik.dan perjuangan yang cukup melelahkan. Asal mau bersabar dan selalu bertawakalInsya Allah akan menjadi pribadi yang luhur dan hajinya akan mabrur.
Pentingnya Wukuf di Arafah
Sebagaimana Sabda Nabi, Al-hajju Arafah, maksudnya adalah inti dan puncak haji adalah melaksanakan wukuf di Arafah. Arafah berarti mengenal, mengetahui, dan menyadari. Sedangkan makna wukuf adalah berdiam diri.
Dengan demikian, makna wukuf di Arafah adalah berdiam diri untuk meditasi dan menengadah guna merenungkan eksistensi diri dihadapan Allah SWT dan dihadapan makhluk alam semesta kemudian melakukan transformasi ruhaniah secara besar-besaran.
Allah memerintahkan kita untuk berhenti sejenak dari pengaruh dunia yang sudah menjalar hingga kepori dan tulang sum-sum kita agar kita mengenal diri memahami apakah diri kita ini sudah pantas dikatakan manusia jika diri kita hanya sibuk mengejar kehidupan dunia yang fana ini, Allah menganjurkan kita agar menyadari apa sebanarnya tujuan hidup kita yang sebenarnya, bukankah diri kita ini pasti akan mati dan menghadap Allah, lalu sudahkah kita, mengenal siapa tuhan kita sebenarnya, apakah benar Allah atau banyak tuhan tuhan yang lain yang lebih kita cintai dan kita sayangi dibandingan Allah, seperti harta, uang, istri anak ataukah jabatan kita miliki yang menjelma menjadi tuhan kita sekarang, sudahkah kita sadari berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk berbuat maksiat. Dan berapa banyak pula waktu yang kita gunakan untuk berbuat kebaikan demi kebaikan.
Haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif, cinta harta, nafsu birahi, amarah, dan berkata keji atau perkataan kotor. Dalam berhaji, manusia dilarang mengenakan perhiasan atau parfum. Bahkan sebaliknya (sangat) dianjurkan untuk rela berkorban apa saja yang menjadi miliknya termasuk yang paling dicintainya, sebagaimana Nabi Ibrahim as yang rela mengorbankan Ismail, putra yang amat dicintainya (lihat QS 37: 99-113).
SIAPA pun orangnya, tentu bangga (bahagia) bila dapat memenuhi panggilan Tuhan menjalani rukun Islam kelima, haji. Betapa tidak, selain ibadah ini merupakan warisan Nabi Ibrahim dan idaman setiap umat Islam, ia juga bisa meningkatkan status sosial. Biaya yang diperlukan jelas cukup besar, hingga tidak semua orang sanggup menjalaninya. Belum lagi syarat lain yang tidak mudah untuk dipenuhi. Singkatnya, hanya orang-orang terpilih lah yang dapat melaksanakan ibadah ini.
Sebaliknya, di balik kebanggaan mereka yang berhaji, ada semacam penyesalan pada mereka yang tak dapat menunaikannya. Susah berbaur prihatin karena merasa belum sempurna Islamnya. Kemudian timbul rasa iri pada mereka yang diberi rezeki berlimpah. Bahkan ada yang sampai menyalahkan pada pembuat nasib walaupun ada pula yang lapang dada menerimanya.
Kedua keadaan/peristiwa tersebut, secara sufism-experience, sama-sama tidak benar. Keduanya sama-sama mengandung butiran tidak ikhlas. Tercemar oleh virus bangga susah kecewa nelangsa. Akibatnya menjadi tidak diterima semua amal baik di sisi-Nya.
Yang benar adalah, tidak bangga ketika mampu menunaikannya dan tidak susah, kecewa, nelangsa ketika tidak sanggup menjalankannya. Sama-sama ikhlasnya. Bersih, kosong. Hati nurani bebas dari kabut debu yang mencemari tugas utamanya, yakni dzikrullah. Menjalani kehidupan dengan ikhlas menerima pemberian-Nya.
Lebih dari itu, kedua masalah tersebut menjadi sirna/nafi dengan sendirinya bila dapat menangkap dan memahami roh-nya haji. Tentu saja harus dibarengi dengan usaha keras membumikannya dalam keseharian.
Membumikan rohnya haji
Rohnya haji adalah al-hajju arofatu. Berhentinya segala aktivitas di Padang Arafah. Secara syariat, ibadah ini dilakukan di Padang Arafah (Kabah dan sekitarnya). Dilengkapi dengan syarat rukunnya, larangannya, maupun ibadah plus lainnya.
Secara hakikat, makna wukuf adalah berhenti di Padang Arafah. Adalah berhentinya semua aktivitas berdunia (termasuk berhentinya napasnya sendiri), menyatakan Arafah-Nya Yang Mahaluas. Pertama, Membuktikan marifat (bertemu) Dzat Yang Mahaluas.
Adalah sebuah usaha (ibadah) untuk menghentikan berbagai pengakuan keduniawian dan geloranya hawa nafsu. Menghentikan segala macam pengakuan: status sosial, golongan, pangkat, jabatan, pekerjaan, gengsi, harga diri, anak-istri, dan sejenisnya. Tenggelam dalam menikmati indahnya wujud (Dzat) Tuhan Yang Mahaluas. Istilah tasawufnya, marifat. Bertemu Tuhan.
Oleh karena sangat-sangat lembut serta melangit target yang hendak diraih, maka harus dibarengi dengan menjalankan ketentuan lainnya. Di antaranya: pertama, Ihram. Yaitu berniat melaksanakan haji dengan memakai pakaian yang suci tanpa jahitan (polos, utuh).
Tanpa jahitan merupakan simbol sama rasa. Sebuah usaha untuk mengakui tiada perbedaan antarsesama hamba. Apakah pangkat, derajat, harta, warna darah, trah (keturunan) dan sebagainya. Adalah hakikat rasa jiwa yang merdeka sejati. Bebas dari berbagai macam jahitan/kekangan. Baik yang datang dari luar diri (segala sistem buatan manusia dan setan) maupun yang dari dalam diri (hawa nafsu).
Kedua, wukuf di Arafah, berhenti di Padang Arafah yang sangat luas, yaitu berhentinya nafsu pengakuan dan berbagai aktivitas berdunia, di sisi Dzat Yang Mahaluas. Sebab, yang namanya nafsu itu kalaulah tidak dihentikan, pasti akan merajai, memperbudak, menjajah, memerkosa, atau menguasai jati diri manusianya (rasa). Oleh karenanya, nafsu ini harus diupayakan untuk dihentikan. Dalam rangka menyatakan marifat kepada-Nya.
Ketiga, thawaf, mengelilingi Kabah (Baitullah, rumah Tuhan). Kabah ini terdiri dari empat pojok (sudut). Merupakan lambang alam-alam yang harus dilalui manusia, yaitu alam arwah, alam kandungan, alam dunia, dan alam kubur.
Pojok pertama, merupakan simbol alam arwah. Di pojok ini terdapat Hajar Aswad, yaitu simbol asal mula fitrah jati diri manusia yang warnanya hitam (asli). Fitrah manusia ini asalnya dari Fitrah Allah. Ketika masih di alam arwah ini, fitrah manusia gandeng dengan Fitrah-Nya. Haqqul-yakin melihat/menyaksikan Wujud (Dzat) Tuhan. Oleh karenanya berani berkata, qaalu balaa syahidna (benar wahai Tuhan, bahwa Engkau adalah Tuhanku), ketika dimintai persaksian oleh-Nya.
Pojok kedua adalah simbol alam kandungan. Pada pojok ini mengingatkan kita ketika masih berada di alam kandungan. Pada saat itu, ketika jasad masih berumur 120 hari ditiupkan roh (daya dan kekuatan) Tuhan. Bersamaan itu ditetapkan pula rezeki, umur, pati, amal, serta nasib baik dan nasib buruk. Pojok ini mengingatkan betapa sebenarnya manusia waktu itu yang apes, hina, tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa. Adanya hanya pasrah, bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Kemudian setelah diberi daya dan kekuatan Tuhan (ditiupkan roh-Nya), barulah kemudian bisa tumbuh berpikir, bernapas, bekerja, dan seterusnya. Begitu pula ketika diberadakan pada alam dunia sekarang ini diharapkan bangkit kesadarannya untuk mengenal dan mengetahui dengan haqqul yakin keberadaan Dzat Sang Pencipta yang dulunya (maupun sekarang) merupakan tempat bergantung-berlindung-pasrah bongkokan. Kemudian dijadikan satu-satunya wujud yang dicintai, dijadikan tujuan hidup, diingat-ingat serta didekati hingga bertemu kembali (marifat).
Pojok ketiga adalah alam dunia. Alam yang sekarang dilalui (berada) adalah materi (bahan) ujian yang harus diselesaikan agar bisa kembali pada Sang Pencipta. Cara menyelesaikan ujiannya yaitu dengan mengikuti jejak para Malaikatul-muqorrobin, yaitu rela patuh dan tunduk kepada wakil Tuhan (rasul) yang ada di bumi. Patuh dan tunduknya bagai mayit yang pasrah bongkokan di hadapan yang memandikan (menyucikan). Tidak memprotes sama sekali. Yang ada hanya samina wa athona.
Pojok keempat adalah alam kubur. Adalah tempat menuai hasil setelah selesai menjalani ujian dunia. Bila menjalani dunianya dengan sungguh-sungguh, mengikuti petunjuk rasul-Nya, jihadunnafsi-nya dengan keras, serta mendapat rahmat dan fadhal Tuhan, matinya bisa selamat. Wajahnya berseri-seri karena kepada Tuhan-Nya melihat (bertemu). Bangkit suka citanya merasakan betapa indah dan bahagianya kembali pada-Nya.
Tetapi sebaliknya, bila ketika menjalani ujian (dunia) itu dengan sembrono, menuruti hawa nafsu, tidak patuh kepada rasul-Nya, kemungkinan besar ketika mati nanti tidak mendapat rahmat dan fadhal Tuhan sehingga tidak bisa bertemu lagi dengan-Nya (tersesat). Masuk ke alam penasaran, yaitu alam jin, setan, dan sebangsanya yang tidak bisa mati sampai kiamat. Menjadi wadyabalanya di neraka kelak.
Keempat, sai. Yaitu berlari kecil dari Shofa dan Marwah. Lari kecil merupakan simbol bersegeralah, bergegaslah mumpung masih ada kesempatan (bukannya jalan santai ataupun berlari kencang). Bersegeralah memproses diri mendekat sampai bertemu dengan-Nya. Dunia (kehidupan) ini hanyalah sebagai ujian, bukanlah tujuan.
Hanya mampir sebentar mengisi perbekalan menuju kehidupan abadi. Cita-cita luhur dan mulia yang hendak dituju masih sangat jauh. Oleh karena itu, bersegeralah! Jangan santai, apalagi sembrono meremehkan. Sebab, besok pagi atau satu jam lagi mati tidak bisa diketahui. Karena tidak tahu kapan harus mati, maka senantiasa menjaga ajeg zikirnya, hati-hati dan waspada, serta selalu mohon belas kasih dan ampunan-Nya.
Menyatunya hidup dan mati
Di sisi lain, Shofa dan Marwah merupakan simbol dua kampung, yaitu kampung dunia dan kampung akhirat. Memahami bahwa dunia itu gandeng dengan akhirat. Senyatanya, ketika ibadah berusaha meyakini seolah-olah sebentar lagi akan mati. Tetapi ketika berdunia berusaha meyakini seolah-olah akan hidup selamanya. Sehingga, keyakinan antara besok mati maupun hidup selamanya bisa menyatu di dada, dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kelima, memotong rambut. Adalah simbol memotong mahkota kehidupan. Mahkota adalah sesuatu yang disayang dan dijaga kelestariannya. Wujudnya adalah watak aku (pengakuan). Mengaku (merasa) lebih hebat, lebih baik, lebih pintar, maupun mengaku hak milik atas segala yang dimiliki (padahal semuanya milik-Nya). Sehingga tidak butuh pitutur(sunah) rasul-Nya.
Mahkota ini harus dipotong. Jangan sampai ia mengganggu, apalagi menguasai jati diri manusianya. Dipotong dalam arti diperangi, dijihadkan dengan sebenar-benar jihad.
Di samping kelima lakon di atas, ada lakon lain yang dianjurkan untuk dikerjakan. Di antaranya adalah menyembelih binatang kurban (simbol membunuh nafsu bangsa hewan). Melempar jumrah, yang bentuknya berupa kerikil-kerikil kecil. Adalah melempar perkara kecil/remeh yang biasanya disepelekan manusia (suka dipuji, ingin dilihat orang lain, ingin diakui/dihargai kerja kerasnya, berbagai macam pamrih dunia).
Dengan wukuf di Arafah tersebut, orang-orang yang melaksanakan haji diharapkan menjadi arif dan sadar akan eksistensi dirinya, dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pergi, sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, serta memanifestasikan dan mengaplikasikan kesadaran tersebut dalam bentuk tindakan konkret dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakatnya.

Haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif, cinta harta, nafsu birahi, amarah, dan berkata keji atau perkataan kotor. Dalam berhaji, manusia dilarang mengenakan perhiasan atau parfum. Bahkan sebaliknya (sangat) dianjurkan untuk rela berkorban apa saja yang menjadi miliknya -- termasuk yang paling dicintainya, sebagaimana Nabi Ibrahim as yang rela mengorbankan Ismail, putra yang amat dicintainya (lihat QS 37: 99-113).

Said Hawwa dalam buku Al-Islam menyatakan bahwa dengan ibadah haji, seseorang dapat belajar tentang banyak hal, terutama tentang persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persamaan manusia (al-musawah), dan persatuan umat. Dengan haji pula, seseorang dapat belajar tentang perjuangan kesabaran, kesediaan untuk berkorban tanpa pamrih, toleransi,dan kepedulian sosial.

Namun demikian, yang paling penting dari itu semua, untuk bisa membuktikan marifat kepada-Nya, harus punya ilmu marifat lebih dahulu. Hebatnya lagi, ia dapat dibumikan dalam keseharian. Sama halnya untuk menjadi dokter, maka berguru ilmu-ilmu kedokteran adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi.

Terlebih di bulan haji saat ini, tiada perkara yang lebih mulia selain belajar membuktikan Arofah-Nya. Walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, sesuai tingkat mampu masing-masing. Misalnya dengan berkorban (menyerahkan) sedikit harta pada Yang Punya. Syukur-syukur sesuai syarat rukun yang telah ditentukan sambil berusaha memenuhi perintah-Nya: ..dan bunuhlah dirimu !! Hal itu lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu.. (QS.2:54). Yang harus dibunuh adalah wataknya nafsu serta berbagai macam pengakuan (bukan wujudnya jiwa raga).

Demikian hakikat dan makna ibadah haji dan wukuf di arafah ...semoga bermanfaat bagi kita semua dan menambah keimanan dalam hati kita ...Amiien.

3 Keutaman Puasa Arafah

3 Keutamaan Puasa Arafah
Tanggal 9 Dzulhijjah merupakan hari Arafah. Pada hari itu, jamaah haji melakukan wukuf di Arafah yang merupakan rukun inti dari haji. Sedangkan bagi kaum Muslimin yang tidak sedang menjalankan ibadah haji, disunnahkan untuk melakukan puasa Arafah.

Puasa Arafah merupakan puasa sunnah yang sangat dianjurkan, sunnah muakad. Puasa Arafah memiliki keutamaan yang luar biasa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:


سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya.” (HR. Muslim)

Demikianlah keutamaan puasa Arafah: ia dapat menghapuskan dosa selama dua tahun. Yakni dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun sesudahnya.

Diantara keutamaan hari Arafah adalah pembebasan dari api neraka. Sebagian ulama menjelaskan bahwa pembebasan dari neraka pada hari Arafah diberikan Allah bukan hanya kepada jamaah haji yang sedang wukuf, melainkan juga untuk kaum muslimin yang tidak sedang menjalankan haji. Terlimpahkannya ampunan Allah terhadap dosa selama dua tahun melalui puasa Arafah sangat terkait dengan keutamaan kedua ini.


مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)

Keutamaan lain puasa Arafah adalah ke-mustajab-an doa. Secara umum doa orang yang berpuasa akan dikabulkan oleh Allah. Ditambah lagi dengan keutamaan waktu hari Arafah yang merupakan sebaik-baik doa pada waktu itu, maka semakin kuatlah keutamaan terkabulnya doa orang yang berpuasa Arafah pada hari itu.


خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir (Tidak ada Ilah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. MilikNyalah segala kerajaan dan segala pujian, Allah Maha Menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, hasan)

Demikian 3 Keutamaan Puasa Arafah, semoga semakin menguatkan motivasi kita untuk menjalankan Puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah 1435 H yang jatuh pada esok hari.

Kejahatan Perempuan Terhadap Lelaki

8 Kejahatan Perempuan Terhadap Lelaki

Berikut ini adalah daftar delapan hal ke jam yang kerap dilakukan perempuan kepada lawan jenisnya:

1. Membuat cemburu
Ayo mengaku, siapa yang sering flirting dengan lelaki lain hanya untuk membuat sang kekasih tersiksa karena cemburu? Perempuan sering melakukan hal itu untuk memberikan pelajaran kepada si dia yang kurang perhatian dan jarang menunjukkan kasih sayang. Tak ada sa
lahnya melakukannya sekali-sekali, asal jangan kelewatan dan tahu kapan harus berhenti.
2. Mengetes
Tidak sedikit perempuan yang sengaja mengetes pasangannya untuk mengetahui seberapa besar kadar cinta sang kekasih, bahkan dengan cara-cara yang sering kali tidak masuk akal. Misal, Anda memaksanya menemani berbelanja padahal tahu pasti si dia telah memiliki rencana berkumpul dengan teman-temannya.
3. Menutupi status
Sangat menyebalkan bagi lelaki ketika mengetahui perempuan yang selama ini dikejar-kejarnya ternyata telah memiliki seorang kekasih. Padahal, selama proses PDKT pere
mpuan itu bersikap seolah-olah dirinya single dan menanggapi semua rayuan gombal mereka.
4. Mengkritik
Tidak ada lelaki yang suka dikritik, apalagi jika hal itu dilakukan oleh kekasihnya sendiri di depan publik. Hal itu benar-benar mampu meruntuhkan harga dirinya.
5. Kekerasan fisik
Sebagian perempuan barangkali menganggap tidak masa
lah melakukan kekerasan fisik terhadap kekasihnya, misalnya memukul atau menampar, karena yakin sang kekasih terlalu sopan atau gengsi untuk membalas serangan fisik tersebut.

6. Manipulatif
Lelaki selalu salah tingkah saat melihat perempuan menangis. Malangnya, hal tersebut justru dimanfaatkan perempuan untuk memanipulasi dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Lelaki akan melakukan apa saja untuk membuat tangisan itu berhenti, kan?
7. Asas manfaat
Tidak sedikit perempuan yang memanfaatkan ketertarikan lelaki untuk kepentingan pribadi, misalnya hang out gratis atau fasilitas antar jemput, meskipun dia sendiri tidak merasa tertarik sedikit pun. Setelah bersenang-senang sedikit, lelaki itu pun dicampakkan. Ouch!
8. Nomor telepon palsu
Perempuan memberikan nomor telepon palsu kepada laki-laki kurang menarik yang ditemui, hanya karena malas meladeninya lebih lama. Kalau pun nomor telepon yang diberikannya benar dan lelaki itu menelepon, perempuan tidak akan mau repot-repot mengangkat panggilan telepon tersebut.

Kekejaman Wanita Terhadap Pria

Seperti kita ketahui banyak media yang mengungkap atau memberitakan kekejaman seorang suami terhadap istrinya. Intinya seorang pria yang bertindak semena-mana terhadap wanita dengan alasan yang selalu subyektif.

Jaman sudah berubah, walaupun selama ini, pria lebih 
dikenal sebagai sosok yang kerap 'jahat' terhadap kaum perempuan, ternyata kaum hawa bisa juga lho melakukan hal kejam terhadap pria. Berikut hal kejam yang bisa dilakukan perempuan kepada pria dalam memainkan emosi kaum adam. Pernahkah Anda melakukannya?

1. Tidak 
mengangkat telepon
Jika pria merasa berhasil bila mendapatkan nomor telepon banyak perempuan, kita juga bisa memberikan mereka nomor palsu atau tidak mengangkat telepon.
2. Gunakan pria untuk  gratisan
Saat keluar, beberapa perempuan tidak pernah berencana menghabiskan uang mereka sendiri untuk membeli minuman atau makanan. Sebaliknya, perempuan bisa 
mengandalkan tipu muslihat feminin mereka untuk meyakinkan orang agar bersedia mentraktir.

3. Gunakan pria sebagai cadangan
Banyak perempuan yang tidak suka sendirian dan tanpa hubungan. Perempuan tipe ini biasanya akan menjalin hubungan sementara sengan seseorang hingga menemukan pria yang memang diinginkan.

4. Memanipulasi pria secara emosional
Pria tidak suka melihat perempuan
 menangis dan beberapa perempuan bisa mengambil kesempatan itu dan menggunakannya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Air mata akan membuat pria melakukan apa saja.
5. Menggunakan kekerasan fisik
Bila laki-laki memukul perempuan, ia akan disebut jahat. S
ementara itu, beberapa merasa taka apa untuk memukul pacarnya karena kemungkinan tidak akan mendapatkan balasan.

6. Mengkritik di depan umum
Perempuan bisa mengkritik dan mempermal
ukan orang-orang di tempat umum. Bisa juga mengolok-olok atau bahkan merendahkan suaminya.


7. Tidak mengungkapkan status hubungan mereka
Ini bukan hal terburuk yang bisa dilakukan perempuan. 
Tetapi hal ini biasanya dilakukan kala seorang perempuan tengah menikmati godaan dan sanjungan pria.

8. Menggoda orang lain supaya pasangan cemburu
Saat merasa kurang dihargai atau baru saja bertengkar hebat, perempuan mungkin ingin melihat pria tersiksa. Maka itulah, banyak yang menggoda pria lain secara terbuka bahkan di depan pacar sendiri agar kekasih mereka cemburu.

6 Cara Sederhana Memperpanjang Usia

6 Cara Sederhana Memperpanjang Usia

Panjang umur sampai usia 90-an? Pernahkah Anda membayangkannya? Hal ini bukannya tak mungkin, jika Anda melakukannya dengan benar. Gaya hidup sehat adalah kuncinya. Dengan mengontrol kesehatan, Anda dapat meningkatkan kekebalan tubuh, yang berpengaruh terhadap kebugaran Anda. Berikut adalah enam cara sederhana untuk memperpanjang usia, seperti yang dilansir di Boldsky.

1. Makanan sehat. Makanan yang kaya protein akan memberikan gizi yang diperlukan untuk tubuh. Tinggalkan kebiasaan mereka memilih-milih makanan! Setiap sayuran dan buah memiliki beberapa nutrisi yang baik untuk tubuh. Apakah Anda menyukai seafood? Jika ya, Anda akan memiliki umur panjang. Seafood adalah sumber kalsium, magnesium, mangan, besi, selenium, tembaga, dan vitamin yang diperlukan untuk membangun sistem kekebalan tubuh yang sehat.

2. Minumlah lebih banyak air untuk mengeluarkan semua racun dari dalam tubuh. Air merupakan obat terbaik untuk masalah pencernaan dan ginjal. Ingat! Minum 6-8 gelas air per hari adalah sebuah keharusan.

3. Olahraga dapat membantu Anda untuk menghilangkan lemak yang berlebih pada tubuh dan membuatnya bugar. Anda tak perlu melakukan olahraga berat yang menyiksa. Berjalan adalah olahraga murah meriah yang memberi dampak positif bagi tubuh Anda. Lakukan olahraga ini selama 30 menit per hari untuk meningkatkan aliran darah dan meningkatkan kadar oksigen dalam tubuh. Hal ini sangat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh Anda.

4. Seni adalah obat paling mujarab untuk relaksasi pikiran. Anda bisa mendengarkan musik, tari, atau lukisan yang Anda sukai. Seni membuat Anda selalu berpi
kir sesuatu yang kreatif dan aktif. Relaksasi pikiran adalah kunci utama seseorang berumur panjang. Stres dan kecemasan hanya akan melemahkan kekebalan tubuh Anda. Alhasil, tubuh menjadi mudah sakit.

5. Disiplin waktu. Tidurlah 7-8 jam pada malam hari dan makanlah tepat waktu. Hal ini sangat penting untuk mengembangkan kekebalan tubuh Anda. Jika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beristirahat, maka Anda akan merasa kelelahan, nyeri otot, masalah mata, dan bahkan demam. Untuk menghilangkan kelelahan pada tubuh Anda, lakukan pijat tubuh sebulan sekali untuk mengurangi stres dan menjaga kesehatan.

6. Bercinta. Melakukan hubungan fisik yang sehat akan menyeimbangkan emosional Anda dan membuat tubuh tetap bugar. Hal ini tampaknya sederhana, namun sulit untuk benar-benar diterapkan. Hubungan seks yang sehat tidak hanya menuntut kenikmatan fisik semata, tetapi juga rasa nyaman dan cinta.

Menjadi panjang umur memberi Anda kesempatan untuk melihat anak Anda menikah dan menimang cucu. Hal ini selalu didambakan oleh banyak orang, meski tak semua mampu mewujudkannya

Apa Yang Terjadi Ketika Kecoa Musnah dari Muka Bumi

Apa Yang Terjadi Ketika Kecoa Musnah dari Muka Bumi
Bagi beberapa orang, melihat kecoa bisa menimbulkan ketakutan. Keberadaan kecoa juga membuat kekhawatiran sehingga hewan itu sering dibunuh dengan racun serangga. Namun pernahkan kita berpikir, apa yang terjadi ketika di dunia ini tidak ada lagi kecoa? 

Profesor fakultas Biologi Universitas Texas, Amerika Serikat, Srini Kambhampati ditunjuk untuk menjawab pertanyaan ini. Ternyata, kehilangan mendadak 5.000 hingga 10.000 spesies kecoa di bumi memiliki konsekuensi lebih jauh dibanding kehadiran mereka yang mengotori rumah Anda. 

Di dunia, serangga ini menjadi sumber makanan bagi burung dan mamalia seperti tikus. Bahkan, manusia juga memakan hewan ini di wilayah tertentu. Tapi, tidak semua he
wan dan manusia menyandarkan kebutuhan pangan mereka pada kecoa. 

Menurut Kambhampati, hewan lain tidak akan punah ketika terjadi penurunan jumlah populasi kecoa di bumi. Tapi, tawon parasit yang khusus menjadi parasit telur kecoa sangat bergantung dengan keberadaan hewan ini. "Ini (tawon parasit) hampir pasti punah," ujar Kambhampati kepada Life's Little Mysteries. 
Jika Anda tidak tergerak terhadap kepunahan tawon parasit atau populasi tikus, Anda bisa mempertimbangkan kondisi ini. Kelangkaan tikus akan memengaruhi spesies yang memangsa mereka, termasuk kucing liar atau domestik. Anjing hutan, serigala, reptil, elang, dan burung menjadikannya mangsa. Banyak dari hewan-hewan ini menjadi peliharaan manusia. 

Kambhampati menyimpulkan kepunahan kecoa akan meng
ganggu kebutuhan vital makhluk hidup yakni siklus nitrogen. "Sebagian besar kecoa memakan bahan organik yang membusuk. Ini menyimpan kandungan nitrogen," ujarnya. 

"Proses makan kecoa memiliki efek yang dapat melepas nitrogen yang akan diserap tanah dan berguna bagi tanaman. Dengan kata lain, kepunahan kecoa akan memiliki dampak besar bagi kesehatan hutan. Tentu secara tidak langsung berperangaruh pada spesies yang tinggal di dalamnya," urai Kambhampati. 

Proses pelepasan nitrogen ini terjadi pada kotoran kecoa. Secara singkat, kita membutuhkan tinja kecoa demi kehidupan.